Ekologi Hewan



BAHAN AJAR

MATA KULIAH EKOLOGI HEWAN

1. Tinjauan Mata Kuliah

a. Deskripsi Singkat

Mata kuliah ini membahas tentang Definisi Ekologi dan Konsep Ekologi, Hewan dan Lingkungannya, Respon dan Adaptasi Hewan, Habitat dan Relung, Populasi, Suksesi dan Ekoenergetika.

b. Kegunaan Mata Kuliah

Mata Kuliah Ekologi Hewan berguna bagi mahasiswa dalam memahami bagaimana interelasi hewan dengan lingkungan biotic maupun abiotik. Interelasi antara hewan dengan lingkungannya ini merupakan proses interaksi dengan alam sekitar untuk pemenuhan kebutuhan. Interelasi ini juga menggambarkan tatanan kinerja fungsi komponen lingkungan yang saling menghargai dan senantiasa dalam keseimbangan. Oleh karena itu untuk memahami tatanan interelasi tersebut diperlukan kajian tentang ekologi. Interelasi ini biasanya menggambarkan keadan hewan yang sangat tergantung pada faktor-faktor abiotik maupun biotic dan sebaliknya hubungan kedua faktor tersebut dengan hewan itu sendiri. Selain itu mahasiswa dapat menerapkan peranan ekologi hewan bagi manusia, permodelan, pendekatan serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Mahasiswa dapat mengamati langsung interelasi hewan dan lingkungannya sehingga dapat menentukan, mengestimasi serta dapat menghitung populasi dan energi dalam ekosistem baik di lapangan maupun di laboratorium. Hal ini sangat berguna dalam hal pengambilan dan penentuan kebijakan dalam penerapnnya di lapangan, karena sangat berhubungan dengan keadaan dan sifat-sifat hewan. Kegunaan lain adalah mahasiswa dapat menerapkan sistim dan strategi-strategi tersebut baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di kemudian hari.

c. Standard Kompetensi

Setelah menyelesaikan mata kuliah ini dalam satu semester, mahasiswa diharapkan mampu memahami, menerapkan serta mengaplikasikan sasaran dan strategi serta permodelan-permodelan dalam Ekologi Hewan dengan benar.

d. Materi

Bab 1. Definisi Ekologi dan Konsep Ekologi Hewan

Bab 2. Hewan dan Lingkungannya

Bab 3. Respond an Adaptasi Hewan

Bab 4. Habitat dan Relung

Bab 5. Populasi

Bab 6. Suksesi

Bab 7. Ekoenergetika.

e. Petunjuk Bagi Mahasiswa

1. Sebelum mengikuti perkuliahan, hendaknya mahasiswa telah membaca buku yang relevan dengan materi yang akan dibahas pada setiap pertemuan.

2. Mengikuti setiap materi yang dipraktekkan sehingga dapat memahami dan mengerti serta mendapatkan contoh kasus di lapangan agar menambah wawasan keilmuan.

3. Carilah tambahan materi yang relevan dengan materi yang akan dibahas dari internet dan perpustakaan kemudian diskusikan dalam kelompok baik di kelas maupun di lapangan.

4. Mintalah petunjuk dari dosen jika ada konsep yang belum terselesaikan baik dalam kelompok kecil maupun klasikal.

5. Kerjakan tugas mandiri yang diberikan pada akhir perkuliahan dan ikuti ketentuan yang disepakati baik isi, teknis maupun batas pemasukan.

BAB I

DEFINISI EKOLOGI DAN KONSEP EKOLOGI HEWAN

Deskripsi Singkat

Bab ini akan menguraikan Definisi Ekologi dan Konsep Ekologi Hewan, Sasaran dan Ruang Lingkup Ekologi Hewan, Peranan Ekologi Bagi Manusia, Permodelan dan Pendekatan dalam Ekologi Hewan serta Aplikasi Konsep Ekologi Hewan.

Relevansi

Bab ini merupakan pengetahuan awal yang sangat erat hubungannya dengan bab-bab selanjutnya.

Kompetensi Dasar

Setelah menyelesaikan mata kuliah ini, mahasiswa Jurusan Biologi semester VII dapat menjelaskan Definisi Ekologi dan Konsep Ekologi Hewan dengan tepat.

Uraian dan Contoh

PENDAHULUAN

1. Ekologi dan Konsep Ekologi Hewan

Ekologi berasal dari bahasa Yunani; Oikos = rumah , Logos = ilmu. Beberapa ahli ekologi mendefinisikan Ekologi sebagai berikut:

  1. Odum (1963), Ekologi diartikan sebagai totalitas atau pola hubungan antara makhluk dengan lingkungannya.

Secara umum Ekologi sebagai salah satu cabang ilmu biologi yang mempelajari interaksi atau hubungan pengaruh mempengaruhi dan saling ketergantungan antara organisme dengan lingkungannya baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan makhluk hidup itu. Lingkungan tersebut artinya segala sesuatu yang ada di sekitar makhluk hidup yaitu lingkungan biotik maupun abiotik.

Hal-hal yang dihadapi dalam ekologi sebagai suatu ilmu adalah organisme, kehadirannya dan tingkat kelimpahannya di suatu tempat serta faktor-faktor dan proses-proses penyebabnya. Dengan demikian, definisi-definisi tersebut jika dihubungkan dengan ekologi hewan dapat disimpulkan bahwa Ekologi Hewan adalah suatu cabang biologi yang khusus mempelajari interaksi-interaksi antara hewan dengan lingkungan biotic dan abiotik secara langsung maupun tidak langsung meliputi sebaran (distribusi) maupun tingkat kelimpahan hewan tersebut.

Sasaran utama ekologi hewan adalah pemahaman mengenai aspek-aspek dasar yang melandasi kinerja hewan-hewan sebagai individu, populasi, komunitas dan ekosistem yang ditempatinya, meliputi pengenalan pola proses interaksi serta faktor-faktor penting yang menyebabkan keberhasilan maupun ketidakberhasilan organisme-organisme dan ekosistem-ekosistem itu dalam mempertahankan keberadaannya. Berbagai faktor dan proses ini merupakan informasi yang dapat dijadikan dasar dalam menyusun permodelan, peramalan dan penerapannya bagi kepentingan manusia, seperti; habitat, distribusi dan kelimpahannya, makanannya, perilaku (behavior) dan lain-lain.

Setelah mempelajari dan memahami hal-hal tersebut, maka pengetahuan ini dapat kita manfaatkan untuk misalnya, memprediksi kelimpahannya dan menganalisis keadaannya serta peranannya dalam ekosistem, menjaga kelestariannya serta kegiatan lainnya yang menyangkut keberadaan hewan tersebut. Sebagai contoh, kita mempelajari salah satu jenis hewan mulai dari habitatnya di alam, distribusi dan kelimpahannya, makanannya, prilakunya, dan lain-lain. Setelah semua dipahami dengan pengamatan dan penelitian yang cermat dan teliti, maka pengetahuan itu dapat kita manfaatkan misalnya dalam menjaga kelestariannya di alam dengan menjaga keutuhan lingkungan, habitat alaminya,memprediksi kelimpahan populasinya kelak, menganalisis perannya dalam ekosistem, membudidayakannya serta kegiatan lainnya dengan mengoptimalkan kondisi lingkungannya menyerupai habitat aslinya.

Adapun ruang lingkup ekologi hewan dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu; Synekologidan Autekologi. Synekologi adalah materi bahasan dalam kajian atau penelitiannya ialah komunitas dengan berbagai interaksi antar populasi yang terjadi dalam komunitas tersebut. Contohnya; mempelajari atau meneliti tentang distribusi dan kelimpahan jenis ikan tertentu di daerah pasang surut. Autekologi adalah kajian atau penelitian tentang species, yaitu mengenai aspek-aspek ekologi dari individu-individu atau populasi suatu species hewan. Contohnya adalah meneliti atau mempelajari tentang seluk beluk kehidupan lalat buah (Drosophila sp.), mulai dari habitat, makanan, fekunditas, reproduksi, perilaku, respond an lain-lain.

Menurut Ibkar-Kramadibrata (1992) dan Sucipta (1993), secara garis besar pokok bahasan dalam ekologi hewan mencakup hal berikut ini;

a. Masalah distribusi dan kelimpahan populasi hewan secara local dan regional, mulai tingkat relung ekologi, microhabitat dan habitat, komunitas sampai biogeografi atau penyebaran hewan di muka bumi.

b. Masalah pengaturan fisiologis, respon serta adaptasi structural maupun perilaku terhadap perubahan lingkungan.

c. Perilaku dan aktivitas hewan dalam habitatnya.

d. Perubahan-perubahan secara berkala (harian, musiman, tahunan dsb) dari kehadiran, aktivitas dan kelimpahan populasi hewan.

e. Dinamika pop[ulasi dan komunitas serta pola interaksi-interaksi hewan dalam populasi dan komunitas.

f. Pemisahan-pemisahan relung ekologi, species dan ekologi evolusioner.

g. Masalah produktivitas sekunder dan ekoenergetika.

h. Ekologi sistem dan permodelan.

Dengan demikian ruang lingkup Ekologi Hewan meliputi obyek kajian individu/organisme, populasi, komunitas sampai ekosistem tentang distribusi dan kelimpahan, adaptasi dan perilaku, habitat dan relung, produktivitas sekunder, sistem dan permodelan ekologi.

3. Peranan Ekologi Bagi Manusia

Manusia adalah organisme heterotrof di bumi. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju menyebabkan manusia mengeksplorasi, mengolah dan memanfaatkan segala sesuatu yang ada di lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga dengan mudah mengubah kondisi lingkungannya sesuai keinginannya. Dengan keberhasilannya ini dengan mudah menyebabkan laju peningkatan populasi manusia yang relative tinggi (2%) pertahun.

Makin meningkatnya pemanfaatan sumberdaya yang diperlukan manusia telah menyebabkan makin menciutnya luas lingkungan alami dan makin bertambahnya lingkungan buatan. Akibat kegiatan manusia tersebut adalah pencemaran lingkungan oleh limbah buangan industri, kelangkan dan kepunahan species berbagaim organisme, terjadinya perubahan pola cuaca maupun iklim, semakin lebarnya lubang ozon, timbulnya berbagai jenis penyakit yang berbahaya dan lain-lain. Manusia kini dihadapkan pada 2 tantangan, yaitu; 1) menjaga kelestarian ketersediaan sumberdaya, 2) memelihara kondisi lingkungannya.

Menghadapi kedua tantangan tersebut, ekologi sangat berperan, misalnya penelitian-penelitian yang menghasilkan pemahaman mengenai berbagai aspek ekologi dari suatu populasi, komunitas ataupun ekosistem sehingga faktor-faktor penting dapat diketahui dengan tepat serta menghasilkan peramalan yang lebih akkurat. Hal ini dapat mendukung upaya-upaya yang akan dilakukan manusia, karena adanya acuan yang lebih baik untuk mencegah terjadinya perubahan-perubahan maupun kerusakan yang dapat merugikan kondisi lingkungan serta menjaga kesinambungan ketersediaan sumberdaya agar lestari dan pemanfaatannya dapat berkelanjutan.

Ekologi hewan bagi manusia cukup penting artinya dalam memberi nilai-nilai terapan dalam kehidupan manusia. Manfaat tersebut terutama menyangkut masalah-masalah pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kesehatan, serta pengolahan dan konservasi satwa liar. Kisaran toleransi dan faktor-faktor pembatas telah banyak diterapkan dalam bidang-bidang tersebut. Konsep-konsep tersebut juga telah melandasi penanganan berbagai masalah seperti pengendalian hama dan penyakit, penggunaan berbagai species hewan tertentu sebagai indicator menunjukkan terjadinya perubahan kondisi lingkungan, hubungan predator mangsa dan parasitoid – inang, vector penyebar penyakit, pengelolaan dan upaya-upaya konservasi satwa liar yang bersifat insitu (pemeliharaan di habitat aslinya) maupun exsitu ( pemeliharaan di lingkungan buatan yang menyerupai habitat aslinya) dan lain-lain. Banyak masalah-masalah yang terpecahkan dengan mempelajari ekologi hewan yang senantiasa berlandaskan pada konsep efisiensi ekologi.

4. Permodelan dan Pendekatan dalam Ekologi

Permodelan ekologi disusun dalam menghadapi berbagai kondisi alam atau lingkungan yang terus menerus berubah atau dinamis. Dalam hal ini manusia dituntut dapat membuat penjelasan terhadap fenomena-fenomena alam untuk memperoleh manfaat bagi kepentingan hidupnya maupun meramalkan kejadian yang mungkin akan terjadi guna menghindari efek buruknya bagi manusia.Untuk dapat memenuhi tuntutan tersebut diperlukan acuan dan peramalan yang lebih baik dan tepat. Hasil studi tersebut dibuat dalam bentuk permodelan ekologi. Penyusunannya didukung oleh hasil-hasil penelitian ekologi yang memberikan informasi kuantitatif dan pengelolaan datanya banyak dibantu oleh teknik-teknik computer.

Model Ekologi pada dasarnya adalah suatu formulasi matematik sebagai bentuk penerjemahan fenomena ekologi yang sebenarnya dan telah disederhanakan. Jumlah variable dalam suatu model lebih rendah dari yang sebenarnya, karena yang ditampilkan hanya faktor-faktor dan proses kuncinya saja, yaitu yang paling penting serta paling menentukan. Informasi ini didapatkan dari hasil sejumlah penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif maupunh eksperimental di lapangan maupun di laboratorium.

Permodelan ekologi pada dasarnya adalah suatu formulasi matematik sebagai bentuk penerjemahan fenomena ekologp yang sebenarnya dan telah disempurnakan.

Pendekatan dalam ekologi dapat secara laboratories, lapangan dan matematik. Dalam ekologi hewan salah satu kendala yang sulit adalah pengukuran, metode dan teknik pengamatan. Hal ini disebabkan oleh sifat hewan yang senantiasa bergerak dan berpindah-pindah baik secara liar maupun jinak. Misalnya menyangkut penentuan kelimpahan dan perilaku hewan yang diteliti, ukuran tubuh mulai dari milimikron sampai yang besar dan tinggi, stadia perkembangan, kecepatan dan daya gerak yang berbeda-beda, lingkungan yang ditempati juga berbeda-beda seperti; habitat daratan, perairan tawar ataupun laut serta keunikan dan kespecifikan perilaku hidupnya termasuk aktivitasnya dalam sehari.

Metode dan teknik penelitian bukan saja ditentukan oleh hal-hal tersebut di atas, tetapi hal lain yang sangat penting adalah tujuan, sasaran dan manfaat dari penelitian itu. Penelitian ekologi hewan yang bersifat deskriptif ataupun eksperimental dengan data kuantitatif memerlukan desain (rancangan), prosedur kerja serta pengolahan data secara statistic.

Penelitian eksperimen, pada dasarnya melibatkan 2 komponen atau perangkat obyek yang diteliti, yakni; perangkat eksperimen (perlakuan) dan control. Perangkat control merupakan suatu perangkat obyek yang diamati dan kondisinya serupa benar dengan perangkat eksperimen, kecuali ada hal-hal tertentu merupakan faktor atau proses yang diteliti atau yang diberikan sebagai perlakuan.

Pada umumnya penelitian eksperimen dilakukan di dalam laboratorium yang kondisinya sangat berbeda dengan kondisi di lingkungan alami atau kondisi habitat alami yang ditempati hewan yang diteliti. Kondisi lingkungan dalam suatu penelitian laboratorium merupakan kondisi yang dapat dikendalikan oleh peneliti, misalnya dibuat sangat berbeda dalam satu atau lebih faktor lingkungan dibandingkan dengan kondisi lingkungan alami atau dibuat sedemikian rupa yang sangat mirip dengan kondisi lingkungan alami.

6. Aplikasi Konsep Ekologi Hewan

Dalam perkembangannya ekologi telah mengalami diversivikasi dengan lahirnya cabang-cabang ilmu ekologi lainnya yang lebih spesifik, dengan materi yang terbatas, khusus dan mendalam yang didasarkan atas kelompok organisme, misalnya; Ekologi Tumbuhan, Ekologi hewan, Ekologi Parasit, Ekologi Gulma, Ekologi Serangga, ekologi Burung dan lainnya.

Ekologi Hewan, bahasannya memerlukan pemahaman mengenai aspek-aspek biologi lainnya juga menyangkut matematika dan statistika. Sebenarnya konsep, asas ataupun generalisasi dalam ekologi hewan telah banyak memberikan nilai-nilai terapan yang cukup dalam kehidupan manusia sehari-hari, terutama dalam bidang-bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kesehata dan pengolahan maupun konservasi satwa liar. Penerapan ekologi makin penting dengan semakin diperlukannya upaya-upaya manusia dalam memelihara ketersediaan sumberdaya serta kualitas lingkungan hidup yang berkesinambungan.

Dalam bidang pertanian, perkebunan dan peternakan, konsep kisaran toleransi dan faktor pembatas serta dalam masalah pengendalian populasi hama dan penyakit (Biological Control). Dengan konsep ekologi hewan juga telah melandasi penggunaan berbagai species hewan tertentu sebagai species indicator yang menunjukkan terjadinya perubahan kondisi lingkungan, sudah tercemar atau belum. Konsep lain dalam bidang pertanian dan kesehatan adalah hubungan predator mangsa dan parasitoid inang. Dalam upaya meningkatkan hasil produk ikan maupun ternak, pengelolaan satwa liar baik yang bersifat insitu (pemeliharaan di habitat aslinya) maupun exsitu (pemeliharaan di lingkungan buatan) seluruhnya berazaskan dan berlandaskan efisiensi ekologi dan azas-azas ekologi.

- Rangkuman

1. Ekologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan interaksi makhluk hidup dengan lingkungannya.

2. Ekologi hewan adalah cabang biologi yang khusus mempelajari interaksi antara hewan dengan lingkungannya yang menentukan sebaran (distribusi) dan kemelimpahan hewan-hewan tersebut.

3. Sasaran utama ekologi hewan adalah pemahaman mengenai aspek-aspek dasar yang melanda kinerja hewan-hewan meliputi individu, populasi, komunitas maupun sistem ekologisnya, guna menemukan proses dan mekanisme kunci untuk menyusun permodelan yang akan dipakai dalam peramalan.

4. Permodelan ekologi pada dasarnya adalah suatu formulasi matematik sebagai bentuk penerjemahan fenomena ekologi yang telah disederhanakan.

5. Ruang lingkup ekologi hewan meliputi kajian individu/organisme, populasi, komunitas, dan ekosistem tentang distribusi dan kemelimpahan, adaptasi dan perilaku, habitat dan relung, produktivitas, sistem dan permodelan ekologi.

6. Pendekatan dalam ekologi hewan dapat secara laboratories dan matematik.

7. Aplikasi penerapan ekologi hewan banyak dimanfaatkan dalam bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan konservasi satwa liar.

1.3. Penutup

a. Tes formatif

1. Jelaskan perbedaan Konsep Ekologi dengan Ekologi Hewan.

2.Apa sasaran utama Ekologi Hewan? Jelaskan.

3. Sebutkan contoh-contoh aspek terapan Ekologi Hewan.

b. Umpan balik dan tindak lanjut

- Umpan balik

Anda dapat menguasai materi ini dengan baik jika memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

- Tindak lanjut

Apabila mahasiswa dapat menyelesaikan 80% tes formatif di atas, maka mahasiswa tersebut dapat melanjutkanke bab selanjutnya sebab pengetahuan konsep perlindungan tanaman merupakan dasar untuk bab selanjutnya.

Jika ada diantara mereka belum mencapai penguasaan 80% dianjurkan untuk :

c. Jawaban tes formatif

1. Ekologi adalah Ilmu yang mempelajari hubungan atau interelasi antara makhluk hidup dengan lingkungannya atau hubungan yang saling mempengaruhi dan saling ketergantungan antara organisme dengan lingkungannya. Konesp Ekologi Hewan adalah suatu cabang biologi yang khusus mempelajari interaksi-interaksi antara hewan dengan lingkungan biotic dan abiotiknya yang menentukan sebaran (distribusi)dan kemelimpahan hewan-hewan tersebut.

2. Sasaran utama Ekologi Hewan adalah pemahaman mengenai aspek-aspek dasar yang melandasi kinerja hewan-hewan sebagai individu, populasi, komunitas maupun sistem ekologis (ekosistem) yang ditempatinya.

3. Contoh-contoh aspek terapan Ekologi Hewan adalah:

a. Bidang Pertanian dan Kesehatan; Konsep mengenai hubungan predator mangsa dan parasitoid inang, pengendalian populasi hama dan penyakit maupun vector penyebar penyakit pada manusia atau tanaman budidaya.

b. Peternakan : Mendeteksi penyakit hewan misalnya virus flu burung, dan lain-lain

c. Perikanan; Mendeteksi penyakit dan hama ikan dan lain-lain.

d. Konservasi satwa liar.

1.4. Daftar Pustaka

Kendeigh, S.C. 1980. Ecology With Special Reference to Animal & Man. Prentice Hall, New Jersey.

Krebs, C. 1978. Ecology of the Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Harper Pub. New York.

Odum, EP. 1971. Fundamental of Ecology. W.B. Sounders, Tokyo, Japan.

Odum, EP. 1983. Basic Ecology. Sounders, Philadelphia.

1.5. Senarai

Ekologi Hewan = Suatu cabang biologi yang khusus mempelajari interaksi- (distribusi) dan interaksi antara hewan dengan lingkungan biotic dan abiotiknya yang menentukan sebaran kemelimpahan hewan-hewan tersebut.

BAB II

HEWAN DAN LINGKUNGANNYA

Deskripsi Singkat

Bab ini menguraikan pengertian Lingkungan Bagi Hewan sebagai Kondisi dan Sumberdaya, Hewan dan Lingkungan Biotik, Hewan dan Lingkungan Abiotik, Kisaran Toleransi dan Faktor Pembatas serta Terapannya dan Komunitas.

Relevansi

Bab ini merupakan pengetahuan awal yang sangat erat hubungannya dengan bab selanjutnya.

Kompetensi Dasar

Setelah menyelesaikan kuliah ini, mahasiswa Jurusan Biologi semester VII dapat menjelaskan Hewan dan Lingkungannya dengan benar.

2.2. Penyajian.

Uraian dan Contoh

HEWAN DAN LINGKUNGANNYA

Lingkungan hewan adalah semua faktor biotic dan abiotik yang ada di sekitarnya dan dapat mempengaruhinya. Hewan hanya dapat hidup, tumbuh dan berkembang biak dalam suatu lingkungan yang menyediakan kondisi dan sumberdaya serta terhindar dari faktor-faktor yang membahayakan.

Begon (1996), membedakan faktor lingkungan bagi hewan ada 2 kategori, yaitu; Kondisi dan Sumberdaya. Kondisi adalah faktor-faktor lingkungan abiotik yang keadaannya berbeda dan berubah sesuai dengan perbedaan tempat dan waktu.

Hewan bereaksi terhadap kondisi lingkungan, yang berupa perubahan-perubahan morfologi, fisiologi dan tingkah laku. Kondisi lingkungan antara lain berupa.; temperature, kelembaban, Ph, salinitas, arus air, angina, tekanan, zat-zat organic dan anorganik.

Sumberdaya adalah segala sesuatu yang dikonsumsi oleh organisme, yang dapat dibedakan atas materi, energi dan ruang. Sumberdaya digunakan untuk menunjukkan suatu faktor abiotik maupun biotikyang diperlukan oleh hewan, karena tersedianya di lingkungan berkurang apabila telah dimanfaatkan oleh hewan. Setiap hewan akan bervariasi menurut ruang (tempat) dan waktu. Oleh karena itu setiap hewan senantiasa berusaha untuk selalu dapat beradaptasi terhadap setiap perubahan lingkungan tersebut. Dalam penyesuaian diri tersebut hanya hewan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan yang dapat bertahan hidup, sementtara yang tidak mampu beradaptasi akan mati atau beremigrasi bahkan akan punah.

Perubahan lingkungan terhadap waktu, secara garis besarnya terdiri atas 3, yaitu;

  1. Perubahan Siklik, perubahan yang terjadinya berulang-ulang secara berirama, seperti malam dan siang, laut pasang dan surut, kemarau dan penghujan, dll. Perubahan siklik dapat berskala harian, bulanan, musiman, tahunan.
  2. Perubahan Terarah, suatu perubahan yang terjadi berangsur-angsur, terus menerus dan progresif dan menuju ke suatu arah tertentu. Prosesnya bisa lama. Contohnya mendangkalnya danau Limboto di Gorontalo.
  3. Perubahan Eratik, suatu perubahan yang tidak berpola dan tidak menunjukkan arah perubahannya. Contohnya; pengendapan Lumpur Lapindo di Jawa Timur (Ponorogo), kebakaran hutan, letusan gunung berapi dan lain-lain.

Setiap organisme di muka bumi menempati habitatnya masing-masing. Dalam suatu habitat terdapat lebih dari satu jenis organisme dan semuanya berada dalam satu komunitas. Komunitas menyatu dengan lingkungan abiotik dan membentuk suatu ekosistem. Dalam ekosistem hewan berinteraksi dengan lingkungan biotic , yaitu hewan lain, tumbuhan serta mikroorganisme lainnya. Interaksi tersebut dapat terjadi antar individu, antar populasi dan antar komunitas. Interaksi tersebut merupakan fungsi ekologis dari suatu ekosistem.

Interaksi antara individu dapat terjadi antar individu dalam suatu populasi atau berbeda populasi. Misalnya interaksi ayam jantan dengan pejantan lainnya untuk memperebutkan territorial, antarseekor kucing dengan tikus. Interaksi populasi terjadi antar kelompok hewan dari suatu jenis organisme dengan kelompok lain yang berbeda jenis organisme. Misalnya sekelompok harimau berburu sekelompok rusa di padang rumput. Interaksi antar komunitas terjadi antar kelompok-kelompo singa, kerbau, bison dan banteng di satu pihak dengan rumput dan semak-semak di pihak lain ketika hewan itu merumput di padang rumput. Hubungan antar hewan dengan lingkungan biotiknya terjadi antar organisme yang hidup terpisah dengan organisme yang hidup bersama.

Faktor-faktor biotic yang mempengaruhi kehidupan hewan adalah sebagai berikut:

Komunitas dan Ekosistem

Komunitas (biocenose) adalah beberapa jenis organisme yang merupakan bagian dari jenis ekologis tertentu yang disebut ekosistem unit ekologis, yaitu suatu satuan lingkungan hidup yang di dalamnya terdapat bermacam-macam makhluk hidup (tumbuhan, hewan dan mikroorganisme) dan antar sesamanya dan lingkungan di sekitarnya (abiotik) membntuk hubungan timbale balik yang salingmempengaruhi.

Ekosistem

Ekosistem adalah suatu unit lingkungan hidup yang di dalamnya terdapat hubungan yangfungsional antar sesame makhluk hidup dan antar makhluk hidup dengan komponen lingkungan abiotik. Hubungan fungsional dalam ekosistem adalah proses-proses yang melibatkan seluruh komponen biotic dan abiotik untukm mengelola sumberdaya yang masuk dalam ekosistem. Sumberdaya tersebut adalah sesuatu yang digunakan oleh o0rganisme untuk kehidupannya, yaitu energi, cahaya dan unsure-unsur nutrisi.

Interaksi antar komponen di dalam ekosistem menentukan pertumbuhan populasi setiap organisme dan berpengaruh terhadap perubahan serta perkembangan struktur komunitas biotic.

Produsen

Produsen terdiri dari organisme autotrof, yaitu organisme yang dapat menyusun bahan organic dari bahan organic sebagai bahan makanannya. Penyusunan bahan organic itu berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan energi yang diperlukan untuk aktivitas metabolisme dan aktivitas hidup lainnya. Organisme autotrof adalah; sebagian besar adalah organisme berklorofil, yang sebagian besar terdiri dari tumbuhan hijau dan sebagian kecil berupa bakteri.

Konsumen

Konsumen adalh komponen biotic yang terdiri dari organisme heterotrof, yaitu organisme yang tidak dapat memanfaatkan energi secara langsung untuk memenhuhi kebutuhan energinya. Organisme heterotrof sebagai organisme yang tidak dapat menyusun bahan organic dari bahan anorganik. Energi kimia dan bahan organic yang diperlukan dipenuhi dengan cara mengkonsumsi energi kimia dan bahan organic yang diproduksi oleh tumbuhan hijau (produsen).

Organisme yang tergolong konsumen adalah; Herbivore, yaitu memakan tumbuhan. Misalnya sapi, kuda, kambing, kerbau, kupu-kupu, belalang dan siput. Karnivor, adalah hewan pemakan hewan lain baik herbivore maupn sesame karnivor. Karnivor pada umumnya adalah hewan buas (harimau, singa, ular), dan hewan pemakan bangkai (komodo, burung hantu, dll). Predator juga termasuk sebagai karnivor. Omnivor, adalah hewan pemakan segalanya baik tumbuhan maupun hewan yang sudah mati, misalnya kucing, ayam, musang , tikus dan lain-lain. Detritivor, adalah organisme yang berperan sebagai pengurai (mikroorganisme) seperti bakteri.

Predator

Predator adalah hewan yang makan hewan lain dengan cara berburu dan membunuh. Hewan yang dimangsanya adalah hewan yang masih hidup. Contohnya adalah kucing makan tikus, capung makan serangga.

Parasit

Parasit, adalah hewan yang hidup pada hewan lain. Hidupnya sangat mempengaruhi inangnya karena semua zat makanan dari inang diserapnya untuk memenuhi kebutuhannya. Parasit berupa hewan kecil dan organisme kecil yanmg termasuk jamur dan bakteri pathogen.

Parasitoid

Parasitoid adalah serangga yang pada fase dewasanya hidup bebas, tetapi pada fase larva berkembang di dalam tubuh (telur, larva dan pupa) serangga lain yang merupakan inangnya. Serangga parasitoid pada umumnya termasuk pada ordo Hymenoptera dan Diptera. Hewan dewasa parasitoid meletakkan telurnya di dekat atau pada tubuh serangga lain (telur, larva dan pupa). Ketika telur parasitoid yang diletakkan pada tubuh inangnya menetas, selam fase larva itu belum dewasa akan hidup terus dalam tubuh inang. Larva tersebut akan makan sebagian atau seluruh tubuh dari inang sehingga menyebakan kematian bagi inangnya.

Pengurai

Pengurai, adalah organisme yang berperan sebagai pengurai. Cara mengkonsumsi makanan tidak dapat menelan dan mencerna makanan di dalam sel tubuhnya, melainkan harus mengeluarkan enzim pencerna keluar sel untuk dapat menguraikan makanannya yang berupa organic mati menjadi zat-zat yang molekulnya kecil sehingga dapat diserap oleh sel.

Mikrobivor

Mikrobivor adalah hewan-hewan kecil yang makan mikroflora (bakteri dan fungi). Hewan ini berupa protozoa dan nematoda.

Detritivor

Detritivor adalah hewan yang makan detritus, yaitu bahan-bahan organic mati yang berasal dari tubuh tumbuhan dan hewan. Hewan yang tergolong detritus antara lain; rayap, anjing tanah dan cacing tanah.

Intraspesifik dan interspesifik

Hubungan timbal balik antara dua individu dalam suatu jenis organisme (intraspsifik) dan hubungan antara dua individu yang berbeda jenis (interspesifik). Hubungan-hubungan ini meliputi:

Kompetisi

Kompetisi adalah hubungan antara dua individu untuk memperebutkan satu macam sumberdaya, sehingga hubungan itu bersifat merugikan bagi salah satu pihak. Sumberdaya berupa; makanan, energi dan tempat tinggal. Persaingan ini terjadi pada saat populasi meledak sehingga hewan akan berdesak-desakan di suatu tempat tertentu. Dalam kondisi demikian biasanya hewan yang kuat akan mengusir yang lemah dan akan menguasai tempat itu sedangkan yang lemah akan beremigrasi atau mati bahkan punah.

Simbiosis

Hubungan interspesifik ada yang berifat simbiosis ada yang non simbiosis. Hubungan simbiosis adalah hubungan antara dua individu dari dua jenis organisme yang keduanya selalu bersama-sama. Contoh dari simbiosis adalah Flagellata yang hidup dalam usus rayap. Flagellata itu mencerna selulosa kayu yang dimakan rayap. Dengan demikian rayap dapat menyerap karbohidrat yang berasal dari selulosa itu. Hubungan nonsimbiosis adalah hubungan antara dua individu yang hidup secara terpisah, dan hubungan terjadi jika keduanya bertematau berdekatan. Contohnya adalah kupu-kupu dengan tanaman bunga. Bunga akan terbantu dalam penyerbukan yang disebabkan terbawanya serbuk sari bunga oleh kaki kupu-kupu dengan tidak sengaja ke bunga yang lain pada saat kupu-kupu mengisap nectar dari bunga tersebut. Simbiosis sebagai hidup bersama antara dua individu dari dua jenis organisme, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan.

Pemisahan Kegiatan Hidup

Peristiwa ini adalah hubungan kompetitif antara satu hewan dengan hewan yang lain dapat berkembang menjadi kegiatan pemisahan hidup (partition). Dalam hubungan ini hewan-hewan yang hidup di suatu habitat mengadakan spesialisasi dalam hal jenis makanan atau dalam metode dan tempat memperoleh makanannya. Misalnya burung Flaminggo mempunyai kaki dan leher yang panjang yang berfungsi dalam hal pengambilan makanannya berupa organisme kecil dan di tempat berlumpur sehingga burung tersebut mudah meraihnya.

Kanibalisme

Kanibalisme adalah sifat suatu hewan untuk menyakiti dan membunuh bahkan memakannya terhadap individu lain yang masih sejenis. Contoh belalang sembah betina membunuh belalang jantan setelah melakukan perkawinan, ayam dalam satu kandang yang berdesak-desakan sehingga ruangan dan makananya terbatas menyebabkan persaingan yang hebat.

Amensalisme

Hubungan antara dua jenis organisme yang satu menghambat atau merugikan yang lain, tetapi dirinya tidak berpengaruh apa-apa dari organisme yang dihambat atau dirugikan.

Komansalisme

Hubungan antara dua jenis organisme yang satu memberi kondisi yang menguntungkan bagi yang lain sedangkan dirinya tidak terpengaruh oleh kehadiran organisme yang lain itu.

Mutualisme

Hubungan antara dua jenis organisme atau individu yang saling menguntungkan tanpa ada yang dirugikan.

Hewan adalah organisme yang bersifat motil, yaitu dapat bergerak dan berpndah tempat. Gerakannya disebabkan oleh rangsangan tertentu yang berasal dari lingkungannya. Faktor-faktor yang merangsang hewan untuk bergerak adalah makanan, air, cahaya, suhu, kelembaban,dan lain-lain.

Faktor lingkungan yang berpengaruh pada kehidupan hewan dibedakan atas kondisi dan sumberdaya. Sumberdaya terdiri atas:

Materi adalah bahan-bahan atau zat yang diperlukan oleh organisme untuk membangun tubuh. Materi terdiri atas; zat-zat anorganik (air, garam-garam mineral) dan zat-zat organic (tubuh organisme lain atau sisa-sisa tubuh organisme yang sudah mati).

Energi adalah daya yang diperlukan oleh organisme untuk melakukan aktivitas hidup. Ruang adalah tempat yang digunakan organisme untuk menjalankan siklus hidupnya.

Hewan dan organisme lain mempunyai hubungan yang saling ketergantungan dengan lingkungannya, sehingga timbullah hubungan timbal balik antara keduanya. Hubungan timbal balik tersebut meliputi; Aksi, Reaksi dan Koasi. Lingkungan abiotik hewan meliputi faktor-faktor Medium dan Substrat.

Medium adalah bahan yang secara langsung melingkupi organisme dan organisme tersebut berinteraksi dengan medium, seperti; Ikan menerima zat-zat mineral dari air, sebaliknya air menerima kotoran ikan dalam air. Bagi beberapa jenis hewan, medium merupakan habitatnya.

Beberapa fungsi medium bagi hewan;

  1. Tempat tinggal misalnya; ikan hidup di air, cacing hidup di dalam tanah
  2. Sumber materi yang diperlukan untuk metabolisme tubuh, misalnya; hewan darat memperolh Oksigen dari udara.
  3. Tempat membuang sisa metabolisme, seperti Karbondioksida dan feces.
  4. Tempat berepeoduksi, misalnya, katak pergi ke air untuk kawin dan bertelur.
  5. Menyebarkan keturunan, misalnya; Larva ketam air tawar (Megalopa), menyebar di perairan sungai setelah berimigrasi dari laut ke arah hulu sungai.

Setiap medium berbeda komposisi merambatkan panas, sifat perubahnya sebagai akibat perubahan suhu, tegangan permukaan kekentalan, massa jenis dan tekanan.

Substrat adalah permukaan tempat organisme hidup, terutama untuk menetap atau bergerak, atau benda-benda padat tempat organisme menjalankan seluruh atau sebagian hidupnya. Setiap organisme memerlukan medium, tetapi tidak semua mempunyai substrat. Hewan air yang bersifat pelagic (berenang) tidak mempunyai substrat. Medium juga tidak berubah sebagai akibat adanya aktifitas organisme. Substrat mengalami modifikasi oleh aktivitas organisme, misalnya tanah padang rumput yang gembur menjadi padat jika digunakan untuk gembala kambing atau kerbau terus menerus. Substrat sebagai tempat berpijak, membangun rumah atau kandang dan tempat makanan. Beberapa hewan menggunakan substrat sebagai tempat berlindung, karena warna substrat sama dengan warna tubuhnya, misalnya; bunglon dan belalang kayu.

Beberapa faktor fisik yang berpengaruh pada kehidupan hewan adalah

Tanah

Tanah merupakan substrat bagi tumbuhan untuk tumbuh, merupakan medium untuk pertumbuhan akar dan untuk menyerap air dan unsure-unsur hara makanan. Bagi hewan tanah adalah substrat sebagai tempat berpijak dan tempat tinggal, kecuali hewan yang hidup di dalam tanah. Kondisi tanah yang berpengaruh terhadap hewan tersebut adalah kekerasannya.

Faktor dalam tanah yang mempengaruhi kehidupan hewan tanah antara lain kandungan air (drainase), kandungan udara (aerase), suhu, kelembaban serta sisa-sisa tubuh tumbuhan yang telah lapuk. Jika tanah banyak mengandung air maka oksigen di dalam tanah akan berkurang dan karbondioksidanya akan meningkat. Air juga menyebabkan tanah menjadi cepat asam, karena eir mempercepat pembusukan. Kurangnya oksigen menyebabkan gangguan pernapasan , dan zat-zat yang bersifat asam dapat meracuni hewan. Tanah yang terlalu kering menyebabkan hewan dalam tanah tidak dapat mengekstrak air secara normal. Kandungan karbondioksida dalam tanah lebih banyak daripada di atmosfir. Jika tanah banyak mengandung rongga pertukaran udara antar tanah dengan atmosfir menjadi lancar, karbondioksida dapat keluar sementara oksigen masuk.Rongga-rongga tanah dapat diperbanyak jika dalam tanah tersebut banyak hewan penggali tanahseperti cacing tanah dan anjing tanah.

Air

Air sangat menentukan kondisi lingkungan fisik dan biologis hewan. Perwujudan air dapat berpengaruh terahadap hewan. Misalnya jika air dalam tubuh hewan akan berubah menjadi dingin atau membeku karena penurunan suhu lingkungan, menyebabkan sel dan jaringan tubuh akan rusak dan metabolosme tidak akan bejalan noremal, sebaliknya penguapan air yangb berlebihan dari dalam tubuh hewan menyebabkan tubuh kekeurangan air.Hewan dapat dibedakan atas 3 kelompok ditinjau dari pengaruh air, yaitu; Hidrosol ( Hydrosoles) atau hewan air, Mesosol (Mesocoles), hewan yang hidup di tempat yang tidak terlalu basah dan tidak terlalu kering dan Xeroso ( Xerosole), hewan yang hidup di tempat yang kering karena tingginya penguapan.

Penyebaran dan kepadatan hewan air di lingkungan air ditentukan oleh kemampuannya mempertahankan osmotic dalam tubuhnya dan berhubungan dengan kemampuannya untuk bertoleransi dengan salinitas air.

Temperatur

Temperatur merupakan faktor lingkungan yang dapt menembus dan menyebar ke berbagai tempat. Temperatur dapat berpengaruh terhadap hewan dalam proses reproduksi, metabolisme serta aktivitas hidup lainnya. Suhu optimum adalah batas suhu yang dapat ditolerir oleh hewan, lewat atau kurang dari suhu tersebut menyebabkan hewan terganggu bahkan menuju kematian karena tidk tahan terhadap suhu.

Cahaya

Cahaya dapat mempengaruhi hewan, misalnya warna tubuh, gerakan hewan dan tingkah laku.

Gravitasi

Pengaruh gravitasi dirasakan oleh hewan jika hewan sedang berpijak pada substrat yang horizontal.Hewan yang berdiri di suatu bidang yang miring atau tegak, berenang di air dan terbang di udara merasakan adanya pengaruh gravitasi bumi. Gravitasi juga berpengaruh pada perbedaan tekanan air dan udara.

Gelombang Arus dan Angin

Kehidupan hewan juga dipengaruhi oleh arus dan angina. Hewan yang hidup di lingkungan air mengalir menghadapi resiko hanyut karena adanya aliran dan arus air. Demikian dengan hewan yang hidup di darat dan udara menghadapi arus angina. Namun demikian arus air dan angina yang normal sangat berpengaruh positif terhadap hewann, karena air dan angina dapat membantu sebagian aktivitas hewan.

pH

Pengaruh pH terhadap organisme terjadi melalui 3 cara, yaitu; 1) secara langsung, mengganggu osmoregulasi, kerja enzim dan pertukaran gas di respirasi, 2) tidak langsung, mengurangi kualitas makanan yang tersedia bagi organisme, 3) meningkatkan konsentarasi racun logam berat terutama ion AI.

Di lingkungan daratan dan perairan, pH menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan penyebaran organisme. Toleransi hewan yang hidup di lingkungan air umumnya pHnya bervartiasi.

Salinitas

Salinitas adalah kondisi lingkungan yang menyangkut konsentrasi garam di lingkungan perairan dan air yang terkandung di dalam tanah. Di lingkungan perairan tawar, air cenderung meresap ke dalam tubuh hewan karena salinitasi air lebih renadah daripada cairan tubuh. Hewan yang bhidup di phabitat laut umumnya bersifat isotonic terhadap salinitas air laut sehingga tidak ada peresapan air ke dalam tubuh hewan.

Setiap organisme harus mampu beradaptasi untuk menghadapi kondisi faktor lingkungan abiotik. Hewan tidak mungkin hidup pada kisaran faktor abiotik yang seluas-luasnya. Pada prinsipnya masing-masing hewan memiliki kisaran toleransi tertentu terhadap semua semua faktor lingkungan.

Hukum Toleransi Shelford

“ Setiap organisme mempunyai suatu minimum dan maksimum ekologis, yang merupakan batas bawah dan batas atas dari kisaran toleransi organisme itu terhadap kondisi faktor lingkungan”

Apabila organisme terdedah pada suatu kondisi faktor lingkungan yang mendekati batas kisaran tolrensinya, maka organisme tersebut akan mengalami cekaman (stress). Fisiologis. Organisme berada dalam kondisi kritis. Contohnya, hewan yang didedahkan pada suhu ekstrim rendah akan menunjukkan kondisi kritis Hipotermia dan pada suhu ekstirm tinggi akan mengakibatkan gejala Hipertemia. Apabila kondisi lingkungan suhu yang demikian tidak segera berubah maka hewan akan mati.

Dalam menentukan batas-batas kisaran toleransi suatu hewan tidaklah mudah. Setiap organisme terdedah sekaligus pada sejumlah faktor lingkungan, oleh adanya suatu interaksi faktor maka suatu faktor lingkungan dapat mengubah efek faktor lingkungan lainnya. Misalnya suatu individu hewan akan merusak efek suhu tinggi yang lebih kerasapabila kelembaban udara yang relative rendah. Dengan demikian hewan akan lebih tahan terhadap suhu tinggi apabila udara kering disbanding dengan pada kondisi udara yang lembab.

Dalam laboratorium juga sangat sulit untuk menentukan batas-batas kisaran toleransi hewan terhadap sesuatu faktor lingkungan. Penyebabnya ialah sulit untuk menentukan secara tepat kapan hewan tersebut akan mati. Cara yang biasa dilakukan ialah dengan memperhitungkan adanya variasi individual batas-batas kisaran toleransi itu ditentukan atas dasar terjadinya kematian pada 50% dari jumlah individu setelah dideadahkan pada suatu kondisi faktor lingkungan selama rentang waktu tertentu. Untuk kondisi suhu, misalnya ditentukan LT50 – 24 jam atau LT50 – 48 jam (LT= Lethal Temperatur). Untuk konsentrasi suatu zat dalam lingkungan biasanya ditentukan dengan LC 50 – X jam ( LC= Lethal Concentration; X dapat 24, 48, 72 atau 96 jam) dan untuk sesuatu dosis ditentukan LD50 – X Jam.

Kisaran toleransi terhadap suatu faktor lingkungan tertentu pada berbagai jenis hewan berbeda-beda. Ada hewan yang kisarannya lebar (euri) dan ada hewan yang sempit (steno). Kisaran toleransi ditentukan secara herediter, namun demikian dapat mengalami perubahan oleh terjadinya proses aklimatisasi (di alam) atau aklimasi (di lab).

Aklimatisasi adalah usaha manusia untuk menyesuaikan hewan terhadap kondisi faktor lingkungan di habitat buatan yang baru. Aklimasi adalah usaha yang dilakukan manusia untuk menyesuaikan hewan terhadap kondisi suatu faktor lingkungan tertentu dalam laboratorium.

Konsep kisaran toleransi, faktor pembatas maupun preferendum diterapkan di bidang-bidang pertanian, peternakan, kesehatan, konservasi dan lain-lain. Hal ini dilakukan dengan harapan kinerja biologi hewan, pertumbuhan dan reproduksi dapat maksimum dan untuk kondisi hewan yang merugikan kondisi lingkungan biasanya dibuat yang sebaliknya.

Setiap hewan memiliki kisaran toleransi yang bervariasi, maka kehadiran di suatu habitat sangat ditentukan oleh kondisi dari faktor lingkungan di tempat tersebut. Kehadiran dan kinerja populasi hewan di suatu tempat menggambarkan tentang kondisi faktor-faktor lingkungan di tempat tersebut. Oleh karena itu ada istilah spesies indicator ekologi, baik kajian ekologi hewan maupun ekologi tumbuhan. Species indikatoe ekologi adalah suatu species organisme yang kehadirannya ataupun kelimpahannya dapat memberi petunjuk mengenai bagaimana kondisi faktor-faktor fisiko – kimia di suatu tempat.

Beberapa species hewan sebagai spcies indicator antara lain adalah Capitella capitata (Polychaeta) sebagai indicator untuk pencemaran bahan organic. Cacing Tubifex (Olygochaeta) dan lain-lain.

Kriteria-kriteria species indicator adalah;

Komunitas disebut juga Biocenuse, adalah beberapa jenis organisme yang merupakan bagian dari suatu jenis ekologis tertentu yang disebut ekosistem unit. Ekologis yang dimaksud adalah suatu satuan lingkungan hidup yang di dalamnya terdapat bermacam0macam makhluk hidup (tumbuhan dan hewan). Antar sesamanya dan lingkungan sekitarnya membentuk hubungan timbale balik yang saling mempengaruhi. Komunitas berupa hewan yang terdiri dari berbagai macam hewan, komunitas tumbuhan dalam satu ekosistem atau seluruh hewan dan tumbuhan yang disebut komunitas biotic.

Komunitas suatu ekosistem tertentu mempunyai ciri-ciri tertentu. Salah satu karakternya adalah keragaman jenis organisme penyusunnya. Keragaman komunitas biasanya ditentukan dengan menghitung indeks keragaman.

- Latihan

Untuk memperdalam pemahaman anda tentang materi di atas, maka kerjakanlah soal-soal berikut ini :

- Kunci Jawaban

- Rangkuman

1. Lingkungan adalah faktor-faktor abiotik dan biotic di luar tubuh organisme yang berpengaruh terhadap kehidupan organisme, yang dibedakan atas kondisi dan sumberdaya.

2. Faktor-faktor biotic yang berpengaruh terhadap kehidupan hewan adalah komunitas dan ekosistem, produsen, konsumen, predator, parasit dan parasitoid, pengurai, mikrobivor dan detritivor.

3. Faktor-faktor abiotik yang berpengaruh pada kehidupan hewan adalah tanah, air, temperature, arus air dan angin, salinitas dan makanan.

4. Setiap organisme terdedah pada faktor lingkungan abiotik yang selalu dinamis atau berubah-ubah dalam skala ruang dan waktu.

2.3. Penutup

a. Tes formatif

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan lingkungan bagi hewan!

2. Sebutkan 3 contoh kondisi lingkungan dan 3 contoh sumberdaya bagi hewan

3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan faktor lingkungan sebagai faktor pembatas bagi kehidupan hewan.

b. Umpan balik dan tindak lanjut

- Umpan balik

Anda dapat menguasai materi ini dengan baik jika memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

Apabila mahasiswa dapat menyelesaikan 80% tes formatif di atas, maka mahasiswa tersebut dapat melanjutkan ke bab selanjutnya sebab pengetahuan dinamika populasi organisme pengganggu tanaman merupakan dasar untuk bab selanjutnya.

Jika ada diantara mereka belum mencapai penguasaan 80% dianjurkan untuk :

c. Jawaban tes formatif

1. Lingkungan bagi hewan adalah semua faktor biotic dan abiotik yang ada di sekitar hewan dan dapat mempengaruhinya.

2. Contoh-contoh kondisi adalah: Temperatur, kelembaban, pH,

Contoh-contoh sumberdaya: Materi, energi dan ruang.

Begon, M., T.L. Harper & C.R. Townsend. 1986. Ecology: Individuals Populations and Communities. Blacwell. Oxfor.

Kendeigh, S.C.1980. Ecology With Special Reference to Animal & Man. Prentice Hall, New Jersey.

2.5. Senarai

Sumberdaya = Segala sesuatu yang dikonsumsi oleh organisme.

Kondisi = Faktor-faktor lingkungan abiotik yang keadaannya berbeda dan berubah sesuai dengan perbedaan tempat dan waktu.

Parasitasi = Kemampuan organisme untuk memarasit organsime lain (inang),

Patogen = Penyebab penyakit seperti jamur, bakteri, virus, nematoda.

BAB III

RESPON DAN ADAPTASI HEWAN

3.1. Pendahuluan

Deskripsi Singkat

Bab ini menguraikan Konsep Adaptasi, Mekanisme Adaptasi, Prinsip-prinsip Adaptasi dan Bentuk-bentuk Adaptasi.

Relevansi

Bab ini merupakan pengetahuan awal yang sangat erat hubungannya dengan bab selanjutnya.

Kompetensi Dasar

Setelah menyelesaikan kuliah ini, mahasiswa Jurusan Biologi semester VII dapat: Menjelaskan Respond an adaptasi Hewan dengan tepat.

3.2. Penyajian

Uraian dan Contoh

RESPON DAN ADAPTASI

1. Konsep Adaptasi

Perubahan kondisi lingkungan berpengaruh terhadap hewan. Hewan mengadakan respon terhadap perubahan kondisi lingkungannya tersebut. Respon hewan terhadap kondisi dan perubahan lingkungannya denyatakan sebagai respon hewan terhadap lingkungannya. Respon tersebut berupa perubahan fisik, fisiologis, dan tingkah laku. Respon hewan tersebut ada yang bersifat reaktif dan ada yang bersifat terpola, artinya berasala dari nenek moyangnya.

Adaptasi umumnya diartikan sebagai penyesuaian makhluk hidup terhadap lingkungannya. Adaptasi menunjukkan kesesuaian organisme dengan lingkungannya yang merupakan produk masa lalu. Organisme yang ada kini dapat hidup pada lingkungannya karena kondisi lingkungan itu secara kebetulan sama dengan kondisi lingkungan nenek moyangnya.

2. Mekanisme Adaptasi

Sifat yang dimiliki oleh suatu populasi yang ada sekarang merupakan sifat yang diturunkan dari generasi ke generasi. Dengan kata lain populasi yang ada sekarang merupakan populasi yang lolos dari seleksi alam sebagaimana yang dinyatakan oleh Darwin.

Di alam organisme terkumpul dalam kelompok-kelompok populasi yang diantara anggotanya terjadi hubungan kawin. Setiap kelompok disebut Deme. Kelompok besar yang terbentuk dari banyak deme disebut jenis organisme. Deme-deme tersebut ada yang menempati daerah-daerah geografis yang berbeda, misalnya Kanguru yang hidup hanya di Australia dan di Irian. Daerah-daerah geografis tersebut merupakan lingkungan hidup yang sempit dan bersifat khas dibanding dengan daerah penyebaran jenis organismenya. Deme yang menempati daerah geoegrafis khusus itu bisa mempunyai sifat genetik yang berbeda dengan deme yang menempati daerah lain, jika di antara deme-deme itu terjadi isolasi geografis sehingga antar deme tidak dapat terjadi pertukaran informasi genetik. Kelompok yang terisolasi itu disebut klin (Cline) yang merupakan sub jenis organisme atau sub populasi.

Perbedaan sifat genetik dari suatu klin dengan klin lainterbentuk dari perbedaan perubahan lingkungan dalam suatu rentangan tertentu, yang disebut gradien ekologik. Variasi sifat individu pada landaian ekologis yang berbeda disebut ekotip. Perbedaan sifat itu dalam hal bentuk, warna dan lain-lain. Contohnya adalah kupu-kupu Biston bitularia yang hidup di hutan jauh dari industri berwarna abu-abu keputihan sesuai dengan warna batang pohon substratnya, tetapi kupu-kupu yang sama hisup di daerah industri di Inggris berwarna gelap karena tertutup oleh asap dan jelaga pabrik.

3. Prinsip-prinsip Adaptasi

Bagi hewan dan organisme lain sifat adptif sangat penting untuk bertahan hidup pada lingkungan baru atau jika ada perubahan lingkungan habitatnya. Kemampuan hewan dalam beradaptasi dengan lingkungannya berbeda-beda yang dipengaruhi oleh:

Kemampuan hewan untuk beradaptasi terbatas oleh:

4. Bentuk-bentuk Adaptasi

Sifat-sifat adaptif yang dimiliki hewan adalah:

1. Adaptasi Struktural

Adaptasi struktural adalah sifat adaptasi yang muncul dalam wujud sifat-sifat morfologi tubuh, meliputi bentuk dan susunan alat-alat tubuh, ukuran tubuh, serta warna tubuh (kulit dan bulu).

Adaptasi fisiologis adalah adaptasi yang menyangkut kesesuaian proses-proses fisiologis hewan dengan kondisi lingkungan dan sumberdaya yang ada di habitatnya. Diantaranya ada yang berhubungan dengan adaptasi struktural, terutama pada bagian dalam tubuh. Misalnya pada proses respirasi, pencernan makanan dan lain-lain yang menggambarkan adanya adaptasi terstruktur.

3. Adaptasi Tingkah Laku

Adaptasi tingkah laku adalah respon hewan terhadap kondisi lingkungan dalam bentuk perubahan tingkah laku. Perubahan tersebut biasanya muncul dalam bentuk gerakan untuk menanggapi rangsangan yang mengenai dirinya. Baik rangsangan dari luar maupun dari dalam lingkungan tubuhnya.

Adaptasi tingkah laku tersebut adalah; Hibernasi, Aestivasi, Diurnal dan Nocturnal, Orientasi terhadap lingkungan, Ototomi, Adaptasi Mutual, Tingkah laku sosial, tingkah laku perkembangbiakan, berkelahi, refleks, insting dan tingkah laku belajar.

Untuk memperdalam pemahaman anda tentang materi di atas, maka kerjakanlah soal-soal di bawah ini :

- Kunci Jawaban

2. Adaptasi morfologi adalah adaptasi yang terjadi pada perubahan bentuk luar tubuh seperti ukuran dan warna tubuh dan bulu, dan lain-lain.

- Rangkuman

1. Adaptasi adalah sifat dan kemampuan organisme untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannyaatau kondisi habitatnya.

2. Sifat-sifat adaptasi hewan meliputi adaptasi structural, fisiologis dan tingkah laku.

3.3. Penutup

a. Tes formatif

1. Apa yang dimaksud dnegn Respon dan Adaptasi?

2. Uraikan dengan singkat mekanisme adaptasi

3. Sebutkan prinsip-prinsip adaptasi

4. Sebutkan bentuk-bentuk adaptasi.

b. Umpan balik dan tindak lanjut

- Umpan balik

Anda dapat menguasai materi ini dengan baik jika memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

  1. Mengerjakan latihan dan tugas

- Tindak lanjut

Apabila mahasiswa dapat menyelesaikan 80% tes formatif di atas, maka mahasiswa tersebut dapat melanjutkan ke bab selanjutnya sebab pengetahuan terhadap konsep Aras Ekonomi dan Ambang Ekonomi merupakan dasar untuk bab selanjutnya.

Jika ada diantara mereka belum mencapai penguasaan 80% dianjurkan ::

2. Berdiskusi dengan teman terutama tentang hal-hal yang belum dikuasai.

  1. Bertanya kepada dosen jika ada hal-hal yang tiudak jelas dalam diskusi.

c. Jawaban tes formatif

3.4. Daftar Pustaka

Kendeigh, S.C. 1980. Ecology With Special Reference to Animal & Man. Prentice Hall, New Jersey.

Odum, EP. 1971. Fundamental of Ecology. W.B. Sounders, Tokyo, Japan.

Odum, EP. 1983. Basic Ecology. Sounders, Philadelphia.

3.5. Senarai

Adaptasi = Penyesuaian organisme dengan keadaan lingkungan atau habitatnya

Nimfa = Stadia serangga yang mengalami metamorfosa tidak sempurna, bentuk serangga ini sama dengan serangga dewasa tetapi organ-organ lain belum berkembang dengan sempurna

BAB IV

PEMANTAUAN DAN TEKNIK PENGAMATAN AGROEKOSISTEM

4.1. Pendahuluan

Deskripsi Singkat

Bab ini menguraikan pengertian Perbedaan Ekosistem Alami dan Agroekosistem, Sistem Pemantauan dan Pengamatan OPT, Penilaian Tingkat Serangan dan Tingkat Kerusakan Tanaman serta Metode Pengambilan Sampel. Relevansi

Bab ini merupakan pengetahuan awal yang sangat erat hubungannya dengan bab selanjutnya.

Kompetensi Dasar

Setelah menyelesaikan kuliah ini, mahasiswa Jurusan Teknologi Pertanian semester III dapat: Menguasai dan menganalisis Sistem Pemantauan pada Agroekosistem dan Teknik Pengamatan OPT secara tepat.

4.2. Penyajian

Uraian dan Contoh.

Dasar-dasar Ekosistem

Ekosistem, baik ekosistem alamiah (hutan tropik) maupun ekosistem pertanian (agroekosistem) terbentuk dan terbangun atas dasar adanya beberapa komponen seperti, (1) adanya individu suatu spesies, (2) tempat dan ruang atau habitat, (3) populasi, (4) komunitas dan (5) biosfir (Pedigo, 1996: 334).

Individu adalah organisme hidup dan merupakan komponen utama yang menyusun suatu ekosistem dimana secara genetik adalah unik. Setiap individu berjuang untuk mempertahankan hidup. Individu-individu ini tumbuh dan berkembang dalam rangka untuk mempertahankan hidupnya, akan menempati suatu tempat dan ruang atau habitat (Oka, 1995 ; Untung, 2003 : 23).

Kumpulan individu akan berkembang biak menjadi suatu populasi yang menempati tempat yang sama dalam suatu komunitas. Komunitas ini terdiri atas berbagai jenis organisme yang saling berinteraksi satu sama lain dalam bentuk aliran energi, dengan memanfaatkan daur biotik (daur biogeokimiawi) dalam bentuk aliran unsur hara dari lingkungan ke organisme dan kembali ke lingkungan. Hal ini akan menuju ke arah perkembangan yang dinamis yang selalu berubah dari keadaan yang sederhana menuju ke arah yang lebih kompleks, perubahan ini dikenal dengan suksesi ekologi yang dipengaruhi oleh lingkungan biotik dan abiotik sebagai bagian dari biosfir (Untung, 2003 : 23).

Kumpulan populasi akan membentuk suatu komunitas yang di dalamnya terdapat suatu aliran energi yang terjadi akibat adanya suatu interaksi. Interaksi disini adalah hubungan timbal balik antara dua individu dalam satu spesies atau spesies yang berbeda dalam suatu populasi untuk mempertahankan hidupnya dalam mendapatkan makanan, ruang untuk tempat tinggal dan berkembang biak. Interaksi ini terlihat dari hubungan serangga dan tanaman, serangga dengan serangga baik itu sebagai hama, predator, parasitoid, hubungannya dengan artropoda lainnya yang membentuk suatu rantai makanan (Tarumingkeng, 1994).

Pada rantai makanan tanaman menduduki tingkat tropik pertama, dengan memanfaatkan sinar matahari tanaman akan melakukan proses fotosintesis, mengubah bahan anorganik menjadi bahan organik, karena itu tanaman termasuk dalam organisme ototroph. Selanjutnya organisme lain yang mendapatkan energi dari tanaman disebut organisme heterotroph, termasuk hama sebagai mangsa/inang dari predator dan parasitoid yang menduduki tingkat tropik kedua (herbivora). Predator dan parasitoid menduduki tingkat tropik ketiga sebagai pemakan herbivora dan karnivora lainnya (Untung, 2003 : 29).

Ekosistem Alami

Ekosistem alamiah (hutan tropik) merupakan ekosistem yang stabil dibandingkan dengan ekosistem pertanian karena memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi (Tarumingkeng, 1994 : 7). Stabilitas ini terbentuk dan terjaga karena adanya dua unsur penting yang bekerja, yaitu mekanisme umpan balik negatif dan mekanisme pengendalian populasi dalam ekosistem. Mekanisme umpan balik negatif adalah mekanisme yang membawa sistem menuju ke keadaan ideal. Mekanisme pengendalian populasi dalam ekosistem adalah mekanisme pengendalian yang mengatur naik turunnya populasi, dimana ada dua kekuatan yang mengaturnya yaitu kemampuan hayati (potensi biotik) dan hambatan lingkungan (Untung, 2003 : 53).

Ekosistem Pertanian (Agroekosistem)

Ekosistem pertanian (agroekosistem) memiliki keanekaragaman biotik dan genetik yang rendah dan cenderung semakin seragam, sehingga tidak stabil dan ini memacu terjadinya peningkatan populasi hama. Agroekosistem merupakan salah satu bentuk ekosistem binaan manusia yang dikelola semaksimal mungkin untuk memperoleh produksi pertanian dengan kualitas dan kuantitas yang sesuai kebutuhan manusia (Pedigo, 1996 : 335).

Perbedaaan ekosistem alami dan ekosistem buatan (agroekosistem) dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut :

Tabel 4.1 Karakteristik Ekosistem Alami Dan Ekosistem Buatan Manusia (Agroekosistem)

Komponen

Ekosistem Alami

Ekosistem Buatan

(Agroekosistem)

Abiotik

Erosi

Serasah

Daya serap

Temperatur tanah

Biotik

Aktivitas organisme

Diversitas Tanaman

Diversitas genetika

Rendah

Tinggi

Tinggi

Rendah

Tinggi

Tinggi

Tinggi

Tinggi

Rendah

Rendah

Tinggi

Rendah

Rendah

Rendah

Sumber : Mahrub (1999 : 28)

Sistem Pemantauan Agroekosistem

Sistem Pemantauan adalah salah satu bagian dari kegiatan monitoring dimana sangat erat kaitannya dengan Ambang Ekonomi. Hal ini karena nilai Ambang Ekonomi yang sudah ditetapkan tidak ada gunanya apabila tidak diikuti dengan kegiatan pemantauan yang teratur dan dapat dipercaya. Sebaliknya pemantauan untuk tujuan pengendalian tidak akan dirasakan manfaatnya apabila tidak dikaitkan dengan Aras Penentuan Keputusan Pengendalian berdasarkan penilaian Ambang Ekonomi (Untung, 2003 : 90).

Hubungan antara Pemantauan, Pengambilan Keputusan dan Tindakan Aksi dalam Agroekosistem seperti pada Gambar 4.1 berikut ini :

Gambar 4.1. Hubungan Antara Pemantauan, Pengambilan Keputusan dan Tindakan Aksi Dalam Agroekosistem (Sumber : Untung, 2003 : 90)

Kegiatan pemantauan dilakukan untuk mengamati dan mengikuti perkembangan keadaan agroekosistem yang meliputi komponen biotik seperti keadaan tanaman, populasi OPT, populasi musuh alami dan komponen abiotik seperti suhu, curah hujan, kelembaban dan kecepatan angin. Hasil pemantauan di dapatkan data informasi lapangan yang merupakan masukan bagi pengambil keputusan untuk menggunakan data tersebut dalam menetapkan keputusan dan rekomendasi yang perlu dilakukan pada agroekosistem. Pengambil keputusan adalah pemerintah dinas terkait maupun petani itu sendiri sebagai pelaku yang melakukan pemantauan terhadap perkembangan tanaman dan kompleks ekosistemnya serta melakukan tindakan aksi pengendalian hasil rekomendasi yang dilakukan sendiri maupun kelompok secara bersama-sama (Untung, 2003 : 91).

Salah satu model pengambilan keputusan yang sederhana adalah berdasarkan hasil perhitungan Ambang Ekonomi tentang populasi hama dan intensitas kerusakan tanaman. Apabila data populasi hama hasil pemantauan menunjukkan telah sama atau melampaui Ambang Ekonomi maka keputusannya adalah segera diadakan pengendalian kimia untuk mengembalikan populasi hama ke Aras Keseimbangan Umum, sebaliknya apabila populasi hama masih berada di bawah Ambang Ekonomi maka tidak perlu diadakan pengendalian kimia.

Teknik Pengamatan OPT

Berdasarkan Buku Pedoman Pengamatan Dan Pelaporan Perlindungan Tanaman Pangan tahun 1992 direkomendasikan bahwa untuk teknik pengamatan OPT dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu dengan Pengamatan Tetap dan Pengamatan Keliling atau patroli. Waktu pengamatan dapat dilakukan 4 (empat) hari dalam seminggu, kecuali untuk tangkapan lampu perangkap dan curah hujan dapat dilakukan setiap hari.

Pengamatan Tetap

Pengamatan tetap bertujuan untuk mengetahui perubahan kepadatan populasi dan intensitas serangan OPT, kepadatan populasi musuh alami yang efektif serta besarnya curah hujan. Pengamatan dilakukan pada petak pengamatan, lampu perangkap dan penakar curah hujan. Komponen yang diamati terdiri atas perubahan kepadatan populasi dan intensitas serangan pada petak contoh yang tetap. Petak contoh ditentukan secara purposive, sehingga mewakili bagian terbesar dari wilayah pengamatan. Pengamatan dimulai sejak tanam, cara bercocok tanam/pola tanam dan varietas yang ditanam.

Setiap petak contoh ditentukan 3 (tiga) unit contoh yang terletak di titik perpotongan garis diagonal pada petak contoh (A) dan di pertengahan potongan-potongan garis diagonal dari diagonal terpanjang (B dan C) seperti terlihat pada Gambar 4.2. Tiap unit contoh terdiri atas 10 (sepuluh) rumpun contoh, dan diamati intensitas serangan OPT, kepadatan populasi OPT dan kepadatan populasi musuh alami.

Gambar 4.2. Penyebaran Unit Contoh Dalam Petak Contoh (Sumber : Buku Pedoman Pengamatan Dan Pelaporan Perlindungan Tanaman Pangan, 1992 : 6).

Kepadatan populasi OPT dan musuh alami yang efektif tertarik cahaya diamati pada satu atau lebih lampu perangkap yang mewakili wilayah pengamatan. Lampu perangkap ditempatkan jauh dari faktor-faktor yang akan mempengaruhi banyaknya serangga pengganggu tanaman dan musuh alami yang tertarik cahaya. lampu dinyalakan dari senja sampai fajar, serangga yang tertangkap diidentifikasi dan dihitung. Serangga yang tertangkap umumnya adalah serangga imago yang aktif pada malam hari.

Pengamatan Keliling (Patroli)

Pengamatan keliling (patroli) bertujuan untuk mengetahui tanaman yang terserang dan terancam, luas pegendalian, bencana alam serta mencari informasi tentang penggunaan, peredaran dan penyimpanan pestisida. Pengamatan keliling ini dilaksanakan dengan cara mengelilingi wilayah pengamatan yang dicurigai terancam serangan OPT. Penentuan daerah yang dicurigai berdasarkan pada kerentanan varietas yang ditanam terhadap serangan OPT utama/kunci di daerah tersebut, stadia pertumbuhan dan jaraknya terhadap sumber serangan serta daerah yang endemik OPT tertentu.

Serangan OPT di daerah yang dicurigai, diamati pada 5 (lima) petak contoh yang terletak pada perpotongan garis diagonal seperti pada Gambar 4.2. bedanya pada Gambar 4.2 hanya 3 petak contoh. Komponen-komponen yang diamati adalah luas tanaman yang terserang, intensitas serangan, kepadatan populasi OPT, stadia/umur tanaman, varietas yang ditanami dan tindakan pengendalian yang pernah dilakukan oleh petani.

Penilaian Tingkat Serangan OPT dan Tingkat Kerusakan Tanaman

Serangan diartikan sebagai bentuk aktivitas OPT untuk menimbulkan kerusakan pada tanaman sedangkan kerusakan adalah efek dari aktivitas OPT pada tanaman dan biasanya ditinjau dari segi fisiologis dan ekonomis. Kerusakan tanaman karena serangan OPT sangat beragam tergantung pada gejala serangannya, sehingga dikenal kerusakan mutlak atau dianggap mutlak dan tidak mutlak. Kerusakan mutlak adalah kerusakan yang terjadi secara permanen / keseluruhan pada tanaman bagian tanaman yang akan dipanen, misalnya kematian seluruh jaringan tanaman dan layu, sedangkan yang dianggap mutlak seperti terjadinya busuk, rusaknya sebagian jaringan tanaman sehingga tanaman atau bagian tanaman tidak produktif lagi. Kerusakan tidak mutlak, kerusakan sebagian tanaman seperti daun, bunga, buah, ranting, cabang dan batang.

Berdasarkan Buku Pedoman Pengamatan Dan Pelaporan Perlindungan Tanaman Pangan tahun (1992 : 10) untuk menghitung kerusakan mutlak dapat menggunakan rumus sebagi berikut :

A A

A + B C

Keterangan : I = Intensitas serangan (%)

A = Banyaknya Contoh (Daun, Pucuk, Bunga, Buah, Tunas, Tanaman, Rumpun Tanaman) Rusak Mutlak Atau Dianggap Rusak Mutlak

B = Banyaknya Contoh Yang Tidak Terserang (Tidak Menunjukkan Gejala Terserang)

C = Jumlah Keseluruhan Contoh yang Diamati

Rumus ini digunakan untuk menilai serangan OPT yang menyebabkan kerusakan mutlak atau dianggap mutlak pada tanaman (tunas, malai, gabah) atau rumpun. Rumus untuk menghitung kerusakan tidak mutlak adalah :

z

Σ (ni X vi)

i=0

Z N

Keterangan : I = Intensitas Serangan

ni = Jumlah Tanaman atau Bagian Tanaman Contoh dengan Skala

Kerusakan vi

vi = Nilai Skala Kerusakan Contoh ke-i

N = Jumlah Tanaman atau Bagian Tanaman Contoh yang Diamati

Z = Nilai Skala Kerusakan Tertinggi

Nilai skala kerusakan beberapa jenis OPT penting pada beberapa tanaman pangan (padi dan jagung) yang sering digunakan oleh pengamat lapangan adalah sebagai berikut (Sunoto, 2003) :

1 = Serangan / kerusakan kurang dari 25 %

2 = Serangan antara 25 – 50 %

3 = Serangan antara 50 – 75 %

4 = Serangan > 75 %

Nilai kerusakan dapat pula menggunakan nilai skala 1, 3, 5, 7, 9 seperti pada Tabel 4.2 berikut ini :

Tabel 4.2. Nilai Skala Kerusakan Beberapa Jenis OPT Penting pada Tanaman Pangan (Padi dan Jagung) dengan Nilai Skala 1, 3, 5, 7, 9.

No

Komoditi

OPT

Skala Kerusakan

1

Padi

Wereng Coklat

(Nilaparvata lugens) ,

Kepinding tanah

(Scotinophora verniculata)

0 = Contoh tidak menunujukkan gejala kerusakan, tidak ditemukan OPT

1 = Sebagian daun pertama menguning, belum terjadi kelayuan pada tanaman, ditemukan OPT, ditemukan sedikit embun jelaga

3 = Sebagian daun pertama dan kedua menguning, daun agak layu, banyak ditemukan embun jelaga

5 = Sebagian besar daun menguning, daun bagian bawah layu, tanaman agak kerdil, embun jelaga sangat banyak

7 = Daun mengeriting dan hampir semua layu, tanaman sangat kerdil

9 = Tanaman layu sempurna/mati

2

Jagung

Belalang dan ulat grayak

0 = Tidak ada kerusakan

1 = Kerusakan daun 1 – 20 %

3 = Kerusakan daun 21 – 40 %

5 = Kerusakan daun 41 – 60 %

7 = Kerusakan daun 61 – 80 %

9 = Kerusakan daun 81 – 100 %

(Sumber : Buku Pedoman Pengamatan dan Pelaporan Perlindungan Tanaman Pangan,

1992 : 50 ; Sunoto, 2003).

Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel dalam pembahasan ini adalah cara atau teknik untuk memperoleh data tentang kepadatan populasi serangga yang diamati. Ukuran kepadatan populasi suatu serangga yang tepat adalah dalam bentuk jumlah individu per suatu satuan luas permukaan tanah. Data ini dapat digunakan untuk menghitung berapa jumlah individu yang ada pada suatu daerah atau wilayah pengamatan.

Sampel atau contoh dalam pengertian statistik merupakan bagian suatu populasi. Populasi hama pada suatu tempat merupakan seluruh individu hama yang menempati tempat tertentu artinya sampel merupakan wakil dari populasi yang diamati. Permasalahan penting yang sering dihadapi dalam pengambilan sampel adalah menentukan jumlah anggota sampel dengan tepat sehingga dapat mewakili keseluruhan anggota populasi. Jika terjadi kesalahan penentuan jumlah sampel maka data yang diperoleh tidak dapat digunakan untuk menduga sifat populasi (Untung, 2003 : 93).

Proses pengambilan sampel dan monitoring memerlukan teknik yang beragam tergantung pada jenis tanaman, jenis hama atau organisme lain yang diamati. Ada 2 (dua) syarat yang harus diperhatikan dalam melakukan teknik pengamatan dan pengambilan sampel yaitu : Praktis, artinya metode yang dilakukan sederhana, mudah dikerjakan dan tidak memerlukan peralatan dan bahan yang mahal serta tidak memerlukan waktu yang lama; Valid (dapat dipercaya), artinya metode yang dilakukan harus menghasilkan data yang dapat mewakili atau menggambarkan secara benar tentang sifat populasi yang sesungguhnya (Untung, 2003 : 94).

Pola pengambilan sampel dapat mengikuti pola Diagonal, Zigzag dan Lajur tanaman (Sistematik) seperti terlihat pada Gambar 4.3 berikut ini. Rumpun tanaman yang ada di pinggiran plot pengamatan jangan dijadikan sebagai sampel, yaitu sekitar 3-5 baris dari tepi lahan (plot pengamatan).

Gambar 4.3. Pola Pengambilan Sampel mengikuti Pola (A) Diagonal, (B) Zigzag dan (C) Lajur Tanaman (Sistematik) Sumber : Untung (2003 : 105).

Untung (2003 : 98) menyatakan ada 3 metode pokok pengambilan sampel yaitu metode mutlak (absolut), metode nisbi (relatif) dan indeks populasi.

1. Metode Mutlak (Absolut), yaitu data yang didapat merupakan angka pendugaan kepadatan populasi dalam bentuk jumlah individu per satuan unit permukaan tanah atau habitat serangga yang kita amati. Pelaksanaan sampling lebih dahulu ditetapkan unit sampel berupa satuan luas permukaan tanah (1 X 1 m2 ) kemudian semua individu serangga yang ada dalam unit sampel yang kita amati dikumpulkan dan dihitung jumlahnya. Untuk suatu petak pengamatan biasanya diambil beberapa unit sampel, lalu dihitung rat-rata kepadatan populasi dari petak pengamatan tersebut.

Apabila perhitungan populasi dilakukan pada pertanaman yang teratur dalam baris dan kolom maka dengan menggunakan unit sampel berupa satu tanaman/pohon atau rumpun dapat diperoleh jumlah populasi serangga untuk satu wilayah pengamatan. Misalnya tanaman padi yang ditanam dengan jarak tanam 25 X 25 cm, maka dalam 1 m2 luas tanah terdapat 16 rumpun padi, jika pada setiap rumpun ditemukan 10 ekor wereng maka dapat diperkirakan untuk luasan 1 m2 permukaan tanah terdapat 160 ekor wereng.

Kelebihan metode mutlak adalah memiliki ketelitian yang tinggi, tetapi memerlukan biaya, waktu dan tenaga yang cukup banyak untuk menghitung serangga yang terkumpul.

2. Metode Nisbi (Relatif), yaitu data penduga populasi yang diperoleh sulit untuk dikonversi dalam unit permukaan tanah karena banyaknya faktor yang mempengaruhi angka penduga tersebut. Cara pengambilan sampel dengan alat perangkap serangga seperti lampu perangkap (light trap) atau perangkap jebakan (pitfal trap) akan memperoleh angka yang sulit untuk dikonversikan pada unit permukaan tanah.

Dibandingkan dengan metode mutlak, metode nisbi merupakan metode yang lebih mudah dan praktis karena umumnya individu serangga lebih mudah tertangkap dan dihitung. Kekurangannya adalah dari segi ketelitian statistik metode ini termasuk rendah. Hal ini karena dipengaruhi banyak faktor seperti keadaan lingkungan sekitar, alat perangkap, keadaan dan kemampuan pengamat, waktu pengumpulan serangga dan lain-lain. Metode nisbi tidak dianjurkan untuk studi ekologi serangga yang memerlukan ketelitian tinggi.

3. Metode Indeks Populasi, yaitu yang diukur dan dihitung adalah bekas yang ditinggalkan oleh serangga seperti kotoran, kokon dan sarang. Misalnya kita mengamati tikus maka yang dihitung adalah jumlah liang. Indeks populasi yang sering digunakan adalah kerusakan atau akibat serangan hama pada tanaman, biasanya angka tersebut disebut intensitas kerusakan atau serangan.

Untuk memperdalam pemahaman anda tentang materi di atas, maka kerjakanlah soal-soal di bawah ini :

- Kunci Jawaban

Menyesuaikan.

- Rangkuman

1. Ekosistem alamiah (hutan tropik) merupakan ekosistem yang stabil dibandingkan dengan ekosistem pertanian karena memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.

2. Ekosistem pertanian (agroekosistem) memiliki keanekaragaman biotik dan genetik yang rendah dan cenderung semakin seragam, sehingga tidak stabil dan ini memacu terjadinya peningkatan populasi hama.

3. Teknik pengamatan ekosistem ada 2 cara yaitu; Pengamatan Tetap dan Patroli.

4. Ada 3 metode pokok pengambilan sampel yaitu metode mutlak (absolut), metode nisbi (relatif) dan indeks populasi.

4..3. Penutup

a. Tes formatif

1. Jelaskan perbedaan Ekosistem Alami dengan Agroekosistem!

2. Apa perbedaan antara Sistem Pemantauan dengan Tindakan Pengendalian?

Jelaskan!

3. Sebutkan Teknik-teknik Pengamatan OPT dan Jelaskan penerapan masing-masing!

b. Umpan balik dan tindak lanjut

- Umpan balik

Anda dapat menguasai materi ini dengan baik jika memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

  1. Mengerjakan latihan dan tugas

- Tindak lanjut

Apabila mahasiswa dapat menyelesaikan 80% tes formatif di atas, maka mahasiswa tersebut dapat melanjutkan ke bab selanjutnya sebab pengetahuan terhadap Sistem Pemantauan Ekosistem dengan Teknik Pengamatan OPT merupakan dasar untuk bab selanjutnya.

Jika ada diantara mereka belum mencapai penguasaan 80% dianjurkan untuk :

2. Berdiskusi dengan teman terutama tentang hal-hal yang belum dikuasai.

3. Bertanya kepada dosen jika ada hal-hal yang tiudak jelas dalam diskusi.

c. Jawaban tes formatif

Menyesuaikan

4.4. Daftar Pustaka

Anonim, 1992. Pedoman Pengamatan dan Pelaporan Perlindungan Tanaman Pangan. (Khusus untuk beberapa tanaman semusim). DirJen. Pertanian Tanaman Pangan Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Jakarta.76 p.

Mahrub, Eddy, 1999. Kajian Pengendalian Alami Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas (Walker). Disertasi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Oka, I. N. 1995. Pengendalian Hama Terpadu Dan Implementasinya Di Indonesia. Gadjah Mada University Press. 255 p.

Sunoto, 2003. Metode Pengamatan Penyakit Tanaman. Makalah yang Disampaikan pada pelatihan sinkronisasi Petugas Pengawas Benih. Di Bali.

Tarumingkeng, R. C. 1994. Dinamika Populasi. Kajian Ekologi Kuantitatif. Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta.

Untung, K., 2003. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Wigenasantana, M., S., dkk., 2001. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.

Witjaksono, 2004. Pemanfaatan Senyawa Semiochemical Untuk Pengendalian Serangga Hama. Makalah Seminar Nasional Pengelolaan Resistensi Pestisida, 24 -25 Februari 2004.

4.5. Senarai

Agroekosistem = Ekosistem buatan manusia

BAB V

MODEL-MODEL PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN (OPT)

5.1. Pendahuluan

Deskripsi Singkat

Bab ini akan menguraikan Model-Model Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) serta Pestisida.

Relevansi

Bab ini merupakan pengetahuan awal yang sangat erat hubungannya dengan bab selanjutnya.

Kompetensi Dasar

Setelah menyelesaikan kuliah ini, mahasiswa Jurusan Teknologi Pertanian semester III dapat : Menjelaskan dan Menerapkan Model-model Pengendalian Hama Secara Terpadu (PHT) dengan tepat.

Uraian dan Contoh

Model-Model Pengendalian OPT

Sekarang ini dikenal dua istilah bahasa Inggris yang sering digunakan secara bergantian untuk Pengendalian Hama Terpadu yaitu Integrated Pest Control (IPC) yang diartikan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan Integrated Pest Management (IPM) yang diartikan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT). Sebenarnya kedua istilah ini digunakan untuk menjelaskan hal yang sama. Jika dilihat dari sejarah perkembangan konsepsi Pengendalian Hama Terpadu, maka (IPM) merupakan perkembangan lebih lanjut dari konsepsi (IPC). Iastilah IPC saat ini di dunia pergaulan ilmiah internasional sudah ditinggalkan dan yang digunakan kini adalah istilah (PHT) singkatan dari Pengelolaan Hama Terpadu (Untung, 2003 :7 ; Wigenasantana, 2001 : 201).

Konsep PHT muncul sebagai akibat kesadaran umat manusia akan bahaya pestisida sebagai bahan yang beracun bagi kelangsungan hidup ekosistem dan kehidupan manusia secara global. Melihat hal ini, muncul pemikiran para ahli untuk mencari metode baru dalam mengendalikan OPT yang dipandang aman. Mula-mula dikembangkan metode dengan memadukan dua teknik pengendalian OPT, kemudian metode ini dikembangkan lagi dengan memadukan semua atau beberapa metode pengendalian yang dianggap cocok dan kompatibel untuk daerah itu, yaitu memadukan cara fisik, mekanik, kultur teknis (bercocok tanam), biologi, kimiawi dan cara pengendalian lainnya (Untung, 2003 : 8; Wigenasantana, 2001 : 202).

Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dapat dilakukan dengan beberapa cara sesuai dengan situasi, kondisi dan keadaan faktor-faktor biotic dan abiotik setempat. Pengendalian tersebut adalah:

Pengendalian Secara Bercocok Tanam (Cultural Control)

Pengendalian OPT secara bercocok tanam bertujuan untuk mengelola lingkungan tanaman sedemikian rupa sehingga menjadi tidak cocok untuk berkembangnya OPT dan mendorong berfungsinya musuh alami (Natural enemies) secara efektif.

Pengendalian secara bercocok tanam merupakan usaha pengendalian yang bersifat preventif yang dilakukan sebelum serangan OPT terjadi, populasi hama diharapkan tidak melawati Aras Ambang Ekonomi (Untung, 2003 : 114 ; Wigenasantana, 2001 : 182).

Teknik pengendalian bercocok tanam didasarkan pada pengetahuan agroekosistem setempat yaitu ekologi dan perilaku OPT meliputi waktu perkawinan, habitat/inang, waktu menyerang dan lain-lain.

Pedigo (1996 : 334) menyatakan bahwa teknik pengendalian secara bercook tanam dpat dikelompokkan dalam 4 (empat) kelompok, yakni:

Pengendalian Hayati (Biologycal Control)

Pengendalian hayati pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan OPT. Musuh alami ini meliputi predator, parasitoid dan patogen sebagai pengatur dan pengendali populasi OPT yang efektif karena sifat pengaturannya yang tergantung kepadatan. Artinya peningkatan populasi OPT akan diikuti oleh peningkatan predator hal ini terlihat dari meningkatnya daya makan per predator. Peningkatan populasi OPT akan diimbangi oleh tekanan yang lebih keras dari populasi musuh alami (Untung, 2003 : 169).

Martono (2005 : 1) dan Untung (2003 : 183) menyatakan dalam praktek pengendalian yang dilakukan sampai saat ini dapat dikelompokkan 3 kategori :

Pelepasan musuh alami secara teknik augmentasi hampir sama dengan cara introduksi, bedanya adalah teknik augmentasi yang kita harapkan adalah populasi hama dalam satu musim tanam dengan cepat dapat ditekan sehingga tidak merugikan, sedangkan teknik introduksi bertujuan dalam jangka panjang dapat menurunkan aras keseimbangan populasi OPT sehingga tetap berada di bawah aras ambang ekonomi. Teknik augmentasi menggunakan musuh alami yang sudah berfungsi di ekosistem, sedangkan introduksi menggunakan musuh alami dari luar ekosistem.

Keberadaan inang alternatif sangat penting dalam mendukung kelestarian parasitoid dan predator terutama yang bersifat polifag dan oligofag (Laba, et al., 2000 : 207). Adanya vegetasi yang tumbuh dipinggiran sawah sangat berperan dalam menyediakan tempat sebagai inang alternatif bagi predator dan parasitoid (Herlinda et al., 2000 : 163), dan ini perlu dipertahankan karena menguntungkan bagi pelestarian musuh alami pada ekosistem persawahan karena tanaman liar yang tumbuh di dipinggiran sawah tersebut mampu menyediakan bunga follen, nectar yang dibutuhkan oleh musuh alami.

Ekosistem persawahan yang intensif umumnya adalah monokultur sehingga kurang memberikan habitat yang sesuai bagi musuh alami karena terbatasnya nektar dan inang alternatif. Hal ini dapat diatasi dengan memanfaatkan tepian lahan, pematang yang ditumbuhi tumbuhan liar sebagai koridor yang berfungsi dalam menyediakan pollen, nektar yang diperlukan oleh musuh alami, sehingga berfungsi dalam menekan populasi hama (Buchori dan Sahari, 2000 : 127).

Pengendalian hayati dapat pula menggunakan patogen hama seperti jamur, virus dan bakteri. Beberapa contoh patogen antagonis yang berpotensi sebagai agen pengendali OPT dan dianggap aman bagi lingkungan biotik dan abiotik terlihat pada Gambar 5.1 berikut ini :

(A) (B) (C)

(D) (E) (F)

Gambar 5.1 (A) Jamur Metarhizium sp. Yang Menginfeksi Kumbang Coleoptera, (B, C) Jamur Beauveria bassiana Menyerang Kepik, (D, E, F) Jamur Trichoderma sp. Jamur Antagonis Pada Patogen Penyebab Penyakit Pada Akar Tanaman (Sumber : Sosromarsono dan Hidayat, 2002 : 13 ; Shepard, et.al., 1987)

Pengendalian Fisik dan Mekanik (Fysical and Mechanical Control)

Pengendalian secara fisik adalah tindakan pengendalian hama dengan menggunakan faktor fisik seperti menaikkan suhu dengan cara pembakaran, menurunkan suhu dengan penggenangan, solarisasi tanah, lampu perangkap, pengaturan cahaya dan suara. Beberapa perlakuan fisik adalah sebagai berikut :

Wigenasantana (2001 : 190) menyatakan bahwa pengendalian secara mekanik adalah tindakan mematikan hama secara langsung dengan menggunakan tangan atau alat. Teknik mekanik ini seperti :

Pengendalian Kimiawi (Chemistry Control)

Pengendalian kimiawi adalah pengendalian OPT dengan menggunakan pestisida. Untung (2003 : 198) membagi pestisida berdasarkan cara masuknya ke dalam tubuh serangga dan berdasarkan sifat kimianya.

Pestisida berdasarkan cara masuk ke tubuh serangga yaitu ; 1) racun perut, insektisida ini masuk ke dalam tubuh serangga melalui saluran pencernaan makanan (perut). Serangga mati karena termakan tanaman yang sudah mengandung insektisida, biasanya insektisida sistemik ; 2) racun kontak, insektisida masuk ke tubuh serangga melalui dinding tubuh apabila serangga mengadakan kontak dengan insektisida yang ada pada permukaan tanaman ; 3) fumigan, insektisida yang mudah menguap menjadi gas dan masuk ke dalam tubuh serangga melalui sistem pernafasan serangga atau sistem trachea, kemudian diedarkan ke seluruh jaringan tubuh serangga. Fumigan biasanya digunakan untuk mengendalikan OPT yang sering menyerang produk simpanan.

Pestisida berdasarkan sifat kimianya yaitu insektisida anorganik tidak mengandung unsur karbon merupakan insektisida lama yang digunakan sebelum tahun 1945 dan insektisida organik yang mengandung unsur karbon merupakan insektisida modern setelah ditemukannya DDT. Insektisida organik terbagi atas insektisida organik alami yaitu terbuat dari tanaman (insektisida nabati) dan insektisida organik sintetik yaitu merupakan hasil buatan pabrik melalui proses sintetis kimiawi.

Pestisida Kimia (insektisida organik sintetik)

Pengendalian dengan pestisida kimia dilakukan dengan menggunakan bahan kimia sintetik seperti insektisida (membunuh serangga), fungisida (membunuh jamur), herbisida (membunuh gulma/rumput liar), akarisida (membunuh tungau), nematisida (membunuh nematoda), rodentisida (membunuh mamalia pengerat) (Wigenasantana, 2001 : 192).

Pestisida dalam sejarah umat manusia telah memberikan banyak jasa baik dalam bidang pertanian, kesehatan dan pemukiman. Pada bidang pertanian pestisida kimia telah berhasil mengendalikan dan menurunkan populasi OPT dengan cepat sehingga petani sangat tergantung pada pestisida. Di pemukiman adalah untuk mengendalikan nyamuk penyebab penyakit demam berdarah dan malaria. Cara pengendalian yaitu dengan cara pengasapan di setiap rumah atau tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempat hidup nyamuk.

Adanya penemuan insektisida sintetik organik pertama yaitu DDT pada tahun 1940 telah memacu revolusi pestisida, hal ini mendorong para peneliti untuk mencari pestisida baru yang lebih ampuh. Banyaknya penemuan jenis pestisida baru yang berhasil membunuh OPT telah menyebabkan banyaknya permintaan pestisida, sehingga bisnis dan industri pestisida muncul dimana-mana (Untung, 2003 : 195; Wigenasantana, 2001 : 193).

Di Indonesia adanya program nasional BIMAS telah memacu petani menggunakan pestisida untuk mengendalikan OPT karena keunggulannya yaitu praktis, ampuh membunuh, mudah diaplikasikan. Tetapi tanpa disadari akibat pemaparan pestisida secara terus menerus dengan cara tidak bijaksana telah berakibat kerusakan lingkungan biotik dan abiotik, munculnya resistensi hama, resurjensi hama, peletusan hama kedua, selain itu adanya pencemaran perairan oleh residu pestisida.

Pestisida kimia yang dipasarkan umumnya sudah dalam bentuk formulasi yaitu campuran bahan aktif teknis, sinergis (bahan penguat yang tidak bersifat racun tetapi apabila dicampurkan ke bahan aktif akan menambah toksisitas insektisida) dan bahan pembantu/ajuvan (berfungsi meningkatkan daya larut/solvent, sebagai pembawa/diluent dan penyelimut, menambah daya lekat/stiker, meningkatkan daya sebar dan pembasahan pada permukaan/ surfaktan, dan memberikan bau harum/deodoran) (Untung, 2003 : 212).

Formulasi Insektisida

Untung, (2003 : 213) membagi formulasi insektisida sebagai berikut:

Konsentrasi dan Dosis Pestisida

Natawigena (1989 : 24) telah menjelaskan tentang pengertian konsentrasi dan dosis sebagai berikut.

Konsentrasi pestisida terbagi atas 3 (tiga) yaitu : 1) konsentrasi formulasi, yaitu banyaknya pestisida dihitung dalam cc atau gram pestisida per liter air yang dicampurkan. Contoh konsentrasi formulasi fungisida Antracol 70 WP adalah 2 gram, artinya dalam 1 liter air kita campur dengan 2 gram Antracol 70 WP ; 2) konsentrasi bahan aktif, yaitu persentase bahan aktif pestisida yang terdapat di dalam larutan jadi (sudah dicampur air); 3) konsentrasi larutan, yaitu persentase kandungan pestisida yang terdapat dalam larutan jadi.

Beberapa pengertian dosis yaitu : 1) jumlah pestisida (cc, liter atau gram, kg) yang digunakan untuk mengendalikan OPT persatun luas tertentu atau per pohon yang dilakukan dalam satu kali aplikasi atau lebih. Contoh kebutuhan dosis Diazinon 60 EC untuk mengendalikan OPT pada lahan sawah seluas 1 ha adalah 1 liter untuk 1 kali aplikasi, bila 3 kali aplikasi maka dosis dibutuhkan adalah 3 liter ; 2) jumlah pestisida yang telah dicampur atau diencerkan terlebih dahulu dengan air dan digunakan untuk menyemprot pertanaman yang diserang OPT dengan luas tertentu dalam satu kali aplikasi ; 3) jumlah bahan aktif pestisida yang dibutuhkan untuk keperluan per satuan luas.

Untuk dosis perlu dilihat label yang tertera pada kemasan pestisida, perhatikan petunjuk penggunaannya sehingga pada waktu aplikasi tidak terjadi kesalahan dan usaha pengendalian tidak sia-sia.

Efek Toksisitas Pestisida Kimia Terhadap Manusia

Untung (2003 : 218) menyatakan bahwa efek toksit pestisida kimia terhadap manusia adalah dilihat dari gejala keracunan yaitu: 1) keracunan akut (kesakitan dan kematian akibat terkena dosis tunggal insektisida), terjadinya keracunan karena kecorobohan pada waktu aplikasi insektisida. Obat antidote untuk manusia yang terkena keracunan akut adalah atropine. 2) keracunan khronik (penderita terkena rcun dalam jangka waktu yang lama dengan dosis yang sangat rendah), gejala keracunan baru terlihat selang beberapa hari, bulan atau tahun setelah penderita terkena racun.

Contoh Insektisida Kimia

Salah satu contoh insektisida yang masih sering digunakan di Indonesia adalah karbamat dengan nama umum karbofuran untuk mengendalikan penggerek batang padi.

Nama Umum : Karbofuran

Nama Kimia : 2,3 – dihidro – 2,2 – dimetil – 7 – benzofuranil metil karbamat

Nama Dagang : Furadan 3 G, Curater 3 G, Dharmafur 3 G, Kresnadan 3 G, Tomafur 3 G, Petrofur 3 G, Hidrofur 3 G, Trufer 3 G, Primafur 3 G Anonim, (2002).

Sumber : (Minarni, 2002 : 13 ; Untung, 2003 : 197)

Toksisitas

Formulasi karbofuran umumnya dijumpai adalah 3 % granular, walupun ada juga formulasi 2%, 5%, dan 10% granula, serta “flowable” dan suspensi. Rendahnya persen bahan aktif dalam formulasi antara lain disebabkan oleh tingginya toksisitas (LD50 8 mg/kg pada serangga), meski ini berarti penggunaannya membutuhkan jumlah berat yang cukup banyak (Martono, et. al., 1993). Karbofuran ditinjau dari segi kategori racun termasuk kategori 1 yaitu sangat berbahaya (racun berbahaya) dengan LD50 oral untuk tikus 8-14 mg/kg, sedangkan untuk LD50 dermal adalah 120 mg/kg sehingga dalam penggunaannya harus dengan cara bijaksana (Untung, 2003).

Pengaruh toksisitas karbofuran terhadap berbagai spesies hama dan musuh alami telah dilaporkan, ternyata pengaruhnya dapat menurunkan populasi hama wereng coklat dan dan populasi musuh alami (predator) Cytorrhinus lividipennis, dan pengaruh racun karbofuran ini akan mengurangi telur parasitoid dan mencegah musuh alami (Mahrub, E., and Pollet, A., 1996 : 20).

Jenis Insektisida

Insektisida karbofuran adalah insektisida golongan karbamat yang bersifat sistemik dan kontak-perut, sehingga dapat digunakan untuk mengendalikan hama-hama padi yang mengisap tanaman seperti wereng (batang maupun daun) atau hama pemakan yang letaknya tersembunyi seperti penggerek batang padi, (Martono, et. al., 1993).

Penggunaan Pestisida

Dosis anjuran adalah 34 kg per hektar per musim tanam untuk formulasi 3% granular, setara dengan 1 kg bahan aktif per hektar (Martono, et. al., 1993). Umumnya dosis yang dianjurkan untuk karbofuran antara 0,5 – 1 kg bahan aktif per hektar. Tetapi pada tingkat petani, tingkat dosis sebesar itu jarang tercapai. Dengan menggunakan formulasi granula yang mengandung 3% bahan aktif, petani umumnya melakukan aplikasi 8 – 10 kg per hektar, yang berarti antara hanya 0,25 – 0,3 kg bahan aktif per hektar (Martono, et. al., 1993). Dosis di bawah anjuran seperti ini, apabila diberikan secara terus menerus akan memiliki efek samping yang kurang menguntungkan, seperti terjadinya resistensi, resurjensi, kematian jasad bukan sasaran karena lebih peka terhadap insektisida dan sebagainya (Martono, et. al., 1993).

Dampak Pestisida Terhadap Serangga Target

Insektisida karbamat adalah derivat dari fisostigmin yang merupakan alkaloida dari tanaman Physostigma venerosom. Fisostigma merupakan inhibitor kolinesterase. Senyawa-senyawa karbamat bersifat antikolinesterase, tetapi karena sifatnya yang polar sehingga sukar menembus kutikula. Tidak efektifnya senyawa karbamat dalam mengadakan penetrasi disebabkan karena daya larutnya dalam lipid yang sangat rendah, sehingga sebagian besar golongan insektisida ini diproduksi dalam bentuk fosforotioat yang lebih mudah menembus ke dalam kutikula dan selanjutnya mengalami aktivasi in vivo atau peningkatan daya racun di dalam jaringan, sehingga bersifat antikolinesterase (Kuhr and Dorough, 1976 cit. Dien, 1994 : 21).

Insektisida golongan karbamat memiliki sifat selektif menghambat enzim kholinesterase dan bukan aliesterase. Selektifitas karbamat kadang-kadang berbeda pada spesies yang berbeda. Insektisida golongan karbamat dapat mematikan serangga melalui penghambatan aktivitas enzim asetilkolinesterase pada system syaraf pusat, penghambatan enzim asetilkolinesterase ini bersifat bolak-balik (reversible) (Matsumura, 1975 ; Minarni, 2002).

Sistem syaraf serangga antara sel syaraf (neuron) dengan sel-sel lain termasuk sel otot terdapat celah yang disebut sinaps. Asetilkolinesterase yang dibentuk oleh system syaraf pusat berfungsi untuk menghantarkan pesan atau impuls. Setelah impuls diantarkan ke sel-sel otot proses penghantaran impuls tersebut dihentikan oleh bekerjanya enzim asetilkolinesterase, dengan enzim tersebut asetilkolin dipecah menjadi asam asetat dan kholin, adanya asetilkolinesterase menyebabkan sinaps menjadi kosong lagi sehingga penghantaran impuls berikutnya dapat dilakukan. Insektisida golongan karbamat akan menghambat bekerjanya enzim asetilkolinesterase yang berakibat terjadinya penumpukan asetilkholin sehingga terjadi kekacauan pada system penghantaran impuls ke sel-sel otot, keadaan ini akan menyebabkan pesan-pesan berikutnya tidak dapat diteruskan akibatnya otot menjadi kejang dan terjadi kelumpuhan dan akhirnya mengalami kematian (Minarni, 2002).

Dampak Pestisida Terhadap Agroekosistem

Karbofuran adalah pestisida golongan karbamat yang mempunyai daya racun cukup tinggi (Matsumura, 1975), dimana dapat membunuh serangga dan nematoda. sifatnya adalah sistemik atau sebagai racun kontak dan lambung sehingga dapat diaplikasikan pada berbagai tanaman pertanian seperti, tanaman pangan, palawija, hortikultura, tanaman perkebunan, tanaman tembakau, tanaman jeruk dan tanaman pisang. Karbofuran ditujukan untuk mengendalikan berbagai macam serangga hama yang menyerang daun, batang, buah, dan nematoda yang menyerang akar, baik pada tanaman yang masih dipersemaian maupun tanaman yang sudah dipindahkan ke lapangan (Anonim, 2002).

Akibat samping penggunaan pestisida pada jasad sasaran dalam agroekosistem berupa munculnya ketahanan hama, hal ini karena pestisida tidak mampu untuk membunuh hama dan sebaliknya terjadi peledakan hama (resurjensi) pada hama yang semula tidak penting.

Insektisida karbamat (karbofuran) termasuk salah satu insektisida yang mendorong timbulnya resurjensi pada hama, hal ini dipacu oleh kesalahan aplikasi dalam hal dosis dan frekuensi. Selain itu pengaruh penggunaan karbofuran adalah meninggalkan residu pada tanaman. Untuk tanaman padi residu karbofuran dapat mencapai 0,178 μg g – 1 pada padi yang diberi karbofuran tiga kali pada umur 30, 50 dan 70 hari setelah tanam (Martono, et. al., 1993).

Pada tanaman, pestisida dapat mengubah penampilan dan melumurinya dengan residu bahan beracun. Laporan tentang tingginya kadar residu acapkali dijumpai, meski dengan semakin canggihnya peralatan wajib dicermati dengan hati-hati (Martono, 2001), Di Indonesia telah disusun suatu ketentuan tentang Batas Maksimum Residu (BMR) pestisida pada hasil pertanian beberapa komoditas (tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perikanan dan perkebunan, baik yang dapat langsung dikonsumsi maupun yang tidak langsung dikonsumsi) yang ditetapkan dengan SK Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian dengan no. 881 tahun 1996 (Anonim, 2002).

Selain pengaruh residu muncul pula masalah lain yaitu adanya keluhan petani bahwa tanah sawah yang diberi perlakuan karbofuran granula akan menyebabkan tanah menjadi keras dan “bantat”. Keadaan ini menyebabkan turunnya kesuburan tanah karena secara biologis banyak terjadi kematian jasad berguna yang membantu penggemburan tanah, sehingga potensi produksi tak dapat dicapai (Martono, et. al., 1993 ; Martono,1997).

Dampak Pestisida Terhadap Lingkungan

Kegiatan pertanian moderen telah berhasil meningkatkan produksi pangan, serat, pakan dan ternak secara dramatis. Penggunaan bahan kimia pertanian sebagai bagian kegiatan pertanian moderen ternyata telah menimbulkan dampak pada lingkungan dan dianggap sebagai sumber pencemar baru terhadap tanah dan air tanah (Sutanto, 2001). Selanjutnya Martono, et. al. (1993) menyatakan bahwa pengaruh residu pada lingkungan fisik agroekosistem dapat berupa pencemaran sumber air, menurunnya mutu sumber bahan atau kondisi tanah sulit diolah.

Sutanto (2001) menyatakan bahwa suatu lingkungan dikatakan tercemar apabila telah terjadi perubahan dalam tatanan lingkungan itu sehingga berbeda sama sekali dengan tatanan asalnya, sebagai akibat masuknya dan atau dimasukkannya suatu zat atau benda asing ke dalam tatanan lingkungan itu. Apabila lingkungan tercemar dalam aras tinggi maka kemungkinan dapat membunuh dan bahkan menghilangkan satu atau lebih organisme penghuni lingkungan yang semula hidup normal dalam tatanan lingkungan yang ada. Croft (1990) cit. Minarni, (2002) menyatakan bahwa insektisida karbamat umumnya sangat toksik terhadap musuh alami, namun ada beberapa insektisida karbamat sistemik seperti karbofuran menunjukkan selektifitas terhadap musuh alami.

Prospek Kedepan

Pemakaian insektisida karbofuran dimasa yang akan datang perlu dipertimbangkan lagi dari segi keuntungan dan kerugiannya serta dampaknya terhadap lingkungan baik terhadap tanaman, serangga target maupun non target, mamalia, dan tanah pertanian yang secara langsung maupun tidak langsung menerima perlakuan atau pemaparan insektisida.

Karbofuran ditinjau dari efektifitasnya mengendalikan hama adalah sangat efektif karena kemampuannya untuk membunuh serangga-serangga yang tinggal pada bagian-bagian tersembunyi dalam tubuh tanaman. Kemampuan tersebut disebabkan oleh sifat bahan aktif yang sistemik, dan penyusunan formulasinya yang granular, dengan demikian aplikasinya dapat diberikan dalam bentuk sebaran (broadcasting) atau pembenaman (soil incorporating) cara ini menyebabkan karbofuran mampu mencapai system perakaran dan kemudian dapat ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman (Martono, et. al., 1993).

Karbamat dibandingkan dengan khlor-hidrokarbon, maka persistensinya masih lebih rendah sedang daya racunnya jauh lebih tinggi selain itu sebagai racun syaraf dengan menghambat enzim asetilkholinesterase karbamat bersifat non spesifik sehingga daya racunnya tinggi untuk serangga dan mamalia (Matsumura, 1985 cit. Martono, et. al., 1993).

Keefektifan karbofuran ternyata kurang didukung oleh petani dalam hal aplikasinya di lapangan, petani cenderung melakukan aplikasi tidak sesuai dengan anjuran sehingga dampaknya berupa terjadinya resistensi dan resurjensi (Mahrub, 1992 dan Metcalf, 1982 cit. Martono 1993). Selain itu teknik penggunaan oleh petani masih belum seragam sehingga hal ini sangat mempengaruhi efektifitasnya. Supriyadi cit. Martono (1993) menyatakan bahwa bahwa cara menaburkan “broadcasting” bila tidak diikuti dengan pembenaman seringkali tidak efektif untuk menekan populasi hama.

Penelitian Mariyono (2002) menunjukkan bahwa serangan hama meningkat secara nyata sebagai akibat peningkatan aplikasi pestisida. Keadaan ini tidak sesuai dengan harapan yaitu serangan hama akan turun jika dilakukan aplikasi pestisida. Hal ini dapat terjadi karena jika aplikasi pestisida kurang tepat menyebabkan keadaan akan menjadi berbalik.

Kesalahan dalam mengaplikasi pestisida dapat menyebabkan serangan hama menjadi lebih banyak karena telah terjadi resistensi dan resurjensi, yaitu hama menjadi tahan terhadap pestisida dan jumlahnya semakin banyak setelah aplikasi pestisida.

Rola & Phrabu (1993) cit. Mariyono (2002) menyebutkan bahwa ada beberapa pestisida telah terbukti dapat menyebabkan resurjensi wereng coklat, dan diantara pestisida tersebut ada yang beredar di pasaran menyebabkan resurjensi wereng coklat, dan diantara pestisida tersebut ada yang beredar di pasaran Yogyakarta yaitu, karbofuran, deltametrin dan fentoat.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian tentang dampak dari insektisida termasuk didalamnya karbofuran maka kedepan penggunaannya harus dipikirkan kalau memang terpaksa maka perlu diperhatikan tentang lima T yaitu tepat dosis, tepat waktu, tepat aplikasi, tepat sasaran, dan tepat formulasi. Sehingga efektifitas dari insektisida karbofuran akan tercapai hal ini karena karbofuran masih dianggap merupakan insektisida yang efektif dan direkomendasikan untuk mengendalikan beberapa hama, diantaranya hama penggerek batang padi.

Pestisida Nabati (insektisida organik nabati)

Pestisida nabati adalah pestisida yang berasal dari tumbuhan, dapat diperoleh dari bagian tumbuhan seperti bunga, buah, biji, daun, batang, akar dan sebagainya. Penggunaan bagian tumbuhan bisa dalam bentuk utuh, bubuk maupun ekstrak. Untuk memperoleh produk yang murah dan siap pakai (tidak tahan lama) maka dibuat dalam bentuk kering dan basah.

Produk yang diekstrak dari tumbuhan dapat bersifat sebagai repelent, atraktan sehingga dapat mempengaruhi perilaku serangga, mengurangi nafsu makan, menghambat pertumbuhan, menurunkan keperidian dan menyebabkan kemandulan, serta pengaruh langsung sebagai racun bagi serangga (Andayani dan Utomo, 1997 : 259 ; Martono, 1997 : 296).

Beberapa contoh tumbuhan yang berpotensi sebagai pestisida nabati seperti : Mimba (Azadirachta indica), Mindi (Melia azedarch), Sirsak (Annona muricata L.), Srikaya (Annona squamosa L.), Serai (Andropogon nardus L.), Babadotan (Ageratum conyzoides L.).

Berikut ini gambar beberapa tanaman yang berpotensi sebagai pestisida nabati.

(A) (B)

Gambar 5.2. (A) Tanaman Sirsak dan Srikaya , (B) Tanaman Babadotan yang berpotensi sebagai pestisida nabati (Sumber : Kardinan, A. 2004 )

Proses Pembuatan Pestisida Nabati

Proses pembuatan pestisida nabati sederhana dengan pelarut air meliputi beberapa tahapan yaitu :

Metode Aplikasi Pestisida Nabati

Aplikasi pestisida di lapangan harus dilaksanakan beberapa kali aplikasi dengan interval waktu tertentu, hal ini karena daya kerja senyawa bioaktif memerlukan waktu dalam proses pengendalian. Cara aplikasi dapat dilakukan dengan menabur, disemprotkan atau dioleskan, tergantung OPT sasarannya. Apabila akan diaplikasikan dengan cara penaburan, bahan pestisida nabati harus dalam bentuk serbuk, dan jika diaplikasikan dengan cara pengolesan atau disemprotkan maka bahan pestisida nabati harus dalam bentuk cairan.

Kebutuhan Pestisida Nabati Untuk Pengendalian OPT

Kebutuhan pestisida nabati persatuan luas berbeda dengan kebutuhan pestisida sintetis yang sudah dikemas dalam bentuk formulasi yang telah dicantumkan kadar bahan aktif serta dosis persatuan luas. Pestisida nabati kadar bahan aktifnya belum banyak diketahui sehingga sulit untuk menentukan dosis persatuan luas.

Dasar yang dipakai dalam penentuan dosis penggunaan pestisida nabati adalah menggunakan standar kadar bioaktif Azadirachtin tanaman Mimba yaitu berkisar antara 7-10 gr/kg bahan (PAU-Hayati ITB, 1992).

Untuk mengaplikasikan pestisida dalam bentuk larutan maka sebelumnya harus dilakukan kalibrasi alat semprot. Hal ini ditujukan untuk memperoleh pembagian pestisida yang merata pada bidang sasaran dengan dosis yang tepat sehingga perlu dilakukan perhitungan kebutuhan larutan semprot dengan rumus sederhana :

10.000 X V

W X S

diketahui misalnya :

(V) = Volume yang Keluar Dari Nozle = 4 Liter/Menit

(W) = Lebar Bidang Semprot = 2 Meter

(S) = Kecepatan Berjalan = 50 Meter/Menit

(Q) = Kebutuhan Larutan Semprot/ha = ?

maka kebutuhan larutan semprot/ha adalah :

10.000 X 4 40.000

2 X 50 100

Untuk konsentrasi larutan semprot dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Kebutuhan Larutan Semprot

Diketahui misalnya volume hasil ekstraksi adalah 12 liter, maka konsentrasi larutan semprot adalah :

12 liter

400 liter

Untuk menentukan dosis/pohon dalam bentuk serbuk dapat dihitung dengan rumus sederhana :

Jumlah Populasi Tanaman

Diketahui misalnya untuk mengendalikan penyakit Fusarium pada tanaman panili maka diperlukan 10 kg serbuk daun cengkeh/ha, dengan jumlah populasi tanaman panili 1000 pohon/ha maka dosis perpohon adalah :

10 kg

1000 pohon

Beberapa Contoh Tanaman yang Berpotensi Sebagai Pestisida Nabati

1. Mimba (Azadirachta indica)

Biji Mimba dikupas dan diparut kemudian dibungkus dengan kain lalu direndam dalam air selama satu malam dengan perbandingan 25-50 gr/liter air. Hasil rendaman siap digunakan, untuk menghindari hilangnya potensi maka waktu aplikasi sebaiknya pada malam hari. Pestisida nabati ini efektif untuk mengendalikan lebih dari 100 jenis hama serangga diantaranya adalah tungau, nematoda, ulat penggerek batang, ulat tanah, ulat gerayak, belalang, kutu dan lain-lain (Andayani dan Utomo, 1997 : 260 ; Schmutterer, 1995 : 367).

2. Pepaya (Carica papaya)

Ambil 1 kg daun pepaya segar dirajang/diiris-iris dan direndam dalam 10 liter air, tambahkan 2 sendok minyak tanah dan larutan sabun 30 gram. Biarkan selama semalam setelah itu disaring. Hasil rendaman siap digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis serangga hama.

3. Srikaya (Annona squamosa L.)

Siapkan biji yang sudah tua secukupnya (20 biji) kemudian ditumbuk sampai menjadi halus lalu dicampur dengan air 1 liter dan tambahkan larutan sabun secukupnya. Pestisida ini efektif untuk membunuh hama Aphid, semut, ulat.

Untuk mengendalikan hama gudang diperlukan tepung biji srikaya secukupnya lalu dicampurkan pada biji kacang hijau yang akan disimpan ternyata hal ini dapat mengendalikan hama gudang Callosobruchus analis dan dapat menghambat proses peletakan telur serangga hama pada biji kacang hijau (Kardinan, 2004).

4. Babadotan (Ageratum conyzoides L.)

Tanaman ini daunnya dapat digunakan sebagai insektisida nabati, caranya ambil daun secukupnya lalu dihaluskan/ditumbuk kemudian dicampur air dengan perbandingan sesuai kebutuhan. Insektisida ini efektif untuk menghambat pertumbuhan larva menjadi pupa (Kardinan, 2004).

- Latihan

Untuk memperdalam pemahaman anda tentang materi di atas, maka kerjakanlah soal-soal di bawah ini :

- Kunci Jawaban

3. Konsentrasi pestisida terbagi atas 3 (tiga) yaitu : 1) konsentrasi formulasi, yaitu banyaknya pestisida dihitung dalam cc atau gram pestisida per liter air yang dicampurkan ; 2) konsentrasi bahan aktif, yaitu persentase bahan aktif pestisida yang terdapat di dalam larutan jadi (sudah dicampur air); 3) konsentrasi larutan, yaitu persentase kandungan pestisida yang terdapat dalam larutan jadi. Sedangkan dosis yaitu : 1) jumlah pestisida (cc, liter atau gram, kg) yang digunakan untuk mengendalikan OPT persatun luas tertentu atau per pohon yang dilakukan dalam satu kali aplikasi atau lebih ; 2) jumlah pestisida yang telah dicampur atau diencerkan terlebih dahulu dengan air dan digunakan untuk menyemprot pertanaman yang diserang OPT dengan luas tertentu dalam satu kali aplikasi ; 3) jumlah bahan aktif pestisida yang dibutuhkan untuk keperluan per satuan luas.

- Rangkuman

1. Pengendalian OPT dengan cara bercocok tanam bertujuan untuk mengelola lingkungan tanaman sedemikian rupa sehingga menjadi tidak cocok untuk berkembangnya OPT dan mendorong berfungsinya musuh alami (Natural enemies) secara efektif. Pengendalian secara bercocok tanam merupakan usaha pengendalian yang bersifat preventif yang dilakukan sebelum serangan OPT terjadi, populasi hama diharapkan tidak melawati aras ambang ekonomi.

2. Pengendalian hayati pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan OPT. Musuh alami terdiri atas predator, parasitoid dan patogen sebagai pengatur dan pengendali populasi OPT yang efektif karena sifat pengaturannya yang tergantung kepadatan. Artinya peningkatan populasi OPT akan diikuti oleh peningkatan predator hal ini terlihat dari meningkatnya daya makan setiap predator.

3. Pengendalian secara fisik adalah tindakan pengendalian hama dengan menggunakan faktor fisik seperti menaikkan suhu dengan cara pembakaran, menurunkan suhu dengan penggenangan, solarisasi tanah, lampu perangkap, pengaturan cahaya dan suara. Sedangkan pengendalian secara mekanik adalah tindakan mematikan hama yaitu (telur, larva, nimfa, pupa dan imago) secara langsung apabila ditemukan di tanaman atau disekitar pertanaman dengan menggunakan tangan atau alat tertentu.

4. Pengendalian kimiawi adalah pengendalian OPT dengan menggunakan pestisida. Pestisida terbagi atas dua pestisida organik alami yaitu terbuat dari tanaman (insektisida nabati) dan pestisida organik sintetik yaitu merupakan hasil buatan pabrik melalui proses sintetis kimiawi. Pestisida kimia yang dipasarkan umumnya sudah dalam bentuk formulasi yaitu campuran bahan aktif teknis, sinergis (bahan penguat yang tidak bersifat racun tetapi apabila dicampurkan ke bahan aktif akan menambah toksisitas insektisida) dan bahan pembantu/ajuvan (berfungsi meningkatkan daya larut/solvent, sebagai pembawa/diluent dan penyelimut, menambah daya lekat/stiker, meningkatkan daya sebar dan pembasahan pada permukaan/ surfaktan, dan memberikan bau harum/deodoran.

5.3. Penutup

a. Tes formatif

1. Jelaskan salah satu contoh pengendalian fisik dan mekanik

2. Sebutkan masing-masing 2 (dua) contoh agen pengendali hayati (patogen, predator dan parasitoid).

3. Sebut dan jelaskan pembagian pestisida kimia.

4. Jelaskan pengaruh negatif pestisida kimia sintetik.

5. Jelaskan perhitungan kebutuhan pestisida nabati untuk mengendalikan OPT pada lahan seluas 1 hektar.

b. Umpan balik dan tindak lanjut

- Umpan balik

Anda dapat menguasai materi ini dengan baik jika memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

- Tindak lanjut

Apabila mahasiswa dapat menyelesaikan 80% tes formatif di atas, maka mahasiswa tersebut dapat melanjutkanke bab selanjutnya sebab pengetahuan konsep perlindungan tanaman merupakan dasar untuk bab selanjutnya.

Jika ada diantara mereka belum mencapai penguasaan 80% dianjurkan untuk :

c. Jawaban tes formatif

1. Contoh pengendalian dengan menggunakan cara fisik yaitu melakukan solarisasi Tanah, adalah suatu cara mensterilkan tanah dari OPT (mikroorganisme tanah penyebab penyakit layu pada tanaman) dengan menggunakan plastik transparan sebagai mulsa penutup tanah pada saat sebelum tanam. Sedangkan cara mekanik seperti pengambilan dengan tangan, cara ini murah dan sederhana tetapi memerlukan tenaga kerja yang banyak. OPT yang ditemukan seperti telur, larva, pupa, jika memungkinkan imago dikumpulkan dengan tangan lalu langsung dibunuh.

2. Agen pengendali hayati patogen (Jamur Metarhizium sp. dan Beauveria bassiana patogen pada coleoptera ); predator (Andrallus spinidens predator larva dan Lycosa pseudoannulata laba-laba pemburu); dan parasiotid (Tetrastichus shcoenobii parasiotid telur penggerek batang padi dan Poecilotraphera sp. parasitoid ulat dan pupa penggerek batang padi).

3. Pestisida kimia terbagi atas dua yaitu pestisida organik alami terbuat dari tanaman (insektisida nabati) dan pestisida organik sintetik merupakan hasil buatan pabrik melalui proses sintetis kimiawi.

4. Akibat pemaparan pestisida kimia sintetik secara terus menerus dengan cara tidak bijaksana telah berakibat kerusakan lingkungan biotik dan abiotik, munculnya resistensi hama, resurjensi hama, peletusan hama kedua, selain itu adanya pencemaran perairan oleh residu pestisida.

5. Perhitungan kebutuhan pestisida nabati untuk lahan seluas 1 hektar adalah

10.000 X V

W X S

diketahui misalnya :

(V) = Volume Yang Keluar Dari Nozle = 4 liter/menit

(W) = Lebar Bidang Semprot = 2 meter

(S) = Kepatan Berjalan = 50 meter/menit

(Q) = Kebutuhan Larutan Semprot/ha = ?

maka kebutuhan larutan semprot/ha adalah :

10.000 X 4 40.000

2 X 50 100

5.4. Daftar Pustaka

Andayani, I. N. dan Utomo, A. N. 1997. Pestisida Alami dan Peluang Penggunaannya dalam Pembangunan yang Berwawasan Lingkungan. Kongres Entomologi IV. Yogyakarta, 23-30 Januari 1992. 259-274 pp.

Anonim, 2002. Pestisida Untuk Pertanian Dan Kehutanan. Direktorat Pupuk Dan Pestisida. Direktorat Jenderal Bina Sarana Pertanian Departemen Pertanian, Jakarta. 375p.

Anonim, 2002. Peraturan-Peraturan Tentang Pestisida. Direktorat Pupuk dan Pestisida Departemen . Koperasi Pegawai Negeri Ditjen BSP. 189p.

Buchori, D., dan Sahari, B., 2000. Keanekaragaman Serangga danb Pengendalian Hayati. Antara Pertanian dan Konservasi Alam. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Artropoda pada Sistem Produksi Pertanian. PEI dan KEHATI. Cipayung Bogor. 127-132 pp.

Dien, M.F., 1994. Pengaruh Insektisida Racun Saraf Terhadap Perilaku Serangga. Tugas Mata Kuliah Masalah Khusus Hama. Program Studi Ilmu Hama Tumbuhan. Program Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 31p.

Herlinda, S., Kandowangko, D.S., Winasa, IW., dan Rauf, A., 2000. Fauna Artropoda Penghuni Habitat Pinggiran di Ekosistem Persawahan. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Artropoda pada Sistem Produksi Pertanian. PEI dan KEHATI. Cipayung Bogor. 163-174 pp.

Kardinan, A. 2004. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya.

Jakarta. 88 p.

Laba, I.W., Djatnika, K., dan Arifin, M., 2000. Analisis Keanekaragaman Hayati Musuh Alami pada Ekosistem Padi Sawah. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Artropoda pada Sistem Produksi Pertanian. PEI dan KEHATI. Cipayung Bogor. 207-216 pp.

Lihawa, Mohamad, 1994. Pengaruh Periode Solarisasi Tanah Terhadap Serangan Jamur Fusarium oxysporum Schlect Penyebab Penyakti Layu Pada Tanaman Tomat. Skripsi. FAPERTA UNSRAT Manado. 37 p.

Martono, E., et. al., 1993. Kajian Insektisida Karbofuran dalam Ekosistem Padi Sawah. Komisi Penelitian Dan Pengembangan Pengendalian Hama Terpadu. Program nasional Pengendalian Hama Terpadu. BAPPENAS. 77p.

------------, 1997. Toksikologi Insektisida. Buku Ajar. Program Studi Ilmu Hama Tumbuhan Bidang Ilmu Pertanian . Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 73p.

------------, 2001. Pemahaman Pengetahuan Pestisida, Anasir Pertanian Terlanjutkan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 38p.

Mahrub, E., and Pollet A., 1996. Spesific Effects Of Carbofuran On Rice Agroecosystems In Yogyakarta Plant Growth And Rice Stem Borer Populations. Faculty Of Agriculture Gadjah Mada University. French Institute For The Development Through Cooperation (ORSTOM). Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, Vo. 2: 13-26. 1996. 11p – 26p.

Mariyono, J., 2002. Hubungan Antara Serangan Hama Dan Penggunaan : Pendekatan Analisis Ekonomet6rik Pada Padi Sawah Dan Kedelai. Fakultas Pertanian Universitas Gunung Kidul, Yogyakarta. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, Vol. 8. No. 1, 2002: 54-62p.

Matsumura, F., 1975. Toxicology of Insecticides. Departemen of Entomology University of Wisconsin-Madison. Madison, Wisconsin. Plenum Press. New York and London. 503p.

Minarni, E.W., 2002. Pengaruh Insektisida Karbofuran dan BPC Terhadap Peranan Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Kuning. Tesis Program Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 69p.

Natawigena, H., 1989.Pestisida dan Kegunaannya.Penerbit CV. Armico. Bandung. 59 p.

Pedigo, L. P. 1996. Entomology and Pest Management. 2

Schmutterer, H. 1995. The Neem Tree. Source of Unique Natural Products for Integrated Pest management, Medicine, Industry and Other Purposes. 696 p.

Shepard, B.M., et.al., 1989. Serangga-Serangga, Laba-Laba dan Patogen yang Membantu. Lembaga Penelitian Padi Internasional. (International Rice Research Institute). 127 p.

Sosromarsono, Sumartono dan Purnama Hidayat, 2002. Diktat Pengantar Entomologi. Jurusdan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik. Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Kanisius. 218 p.

Tarumingkeng, R. C. 1994. Dinamika Populasi. Kajian Ekologi Kuantitatif. Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta.

Untung, K, 2003. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Wigenasantana, M., S., dkk., 2001. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.

5.5. Senarai

Sintetik = Bahan buatan.

Pupa = Tahap antara larva dan dewasa (stadia serangga yang mengalami

metamorfosa sempurna) serangga dalam kondisi istirahat

BAB VI

STRATEGI PENGELOLAAN HAMA TERPADU

6.1. Pendahuluan

Deskripsi Singkat

Bab ini akan menguraikan Strategi Pengelolaan Hama Terpadu, Penerapan PHT dan Evaluasi PHT di Tingkat Petani.

Relevansi

Bab ini berisi materi yang sangat erat hubungannya dengan bab sebelumnya.

Kompetensi Dasar

Setelah menyelesaikan kuliah ini, mahasiswa Jurusan Teknologi Pertanian semester III dapat : Menguasai Strategi dan Evaluasi Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) serta mampu menerapkannya dengan tepat.

6.2. Penyajian

Uraian dan Contoh

Strategi Pengelolaan Hama Terpadu (PHT)

Sejak hama menjadi masalah maka manusia berusaha untuk menurunkan populasinya agar tidak mendatangkan kerugian bagi pertanaman yang diusahakan. Berbagai macam cara telah dilakukan namun keberhasilannya tidak begitu maksimal karena setelah ditinjau kembali cara tersebut ternyata petani hanya melakukan satu cara atau satu teknik pengendalian.

Berdasarkan hal tersebut maka dipikirkan untuk memadukan beberapa cara/teknik pengendalian melalui pendekatan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT). OPT dianggap bukan sebagai musuh tetapi sebagai komponen penyusun agroekosistem yang perlu dikelola sehingga keberadaanya tidak begitu merugikan tanaman budidaya. Pendekatan yang ditawarkan adalah melalui strategi PHT.

Beberapa Strategi Penerapan PHT

Untung (2003 : 242) dan Wigenasantana (2001 : 201) menyatakan strategi Penerapan dan Pengembangan PHT pada suatu daerah untuk suatu jenis tanaman tertentu ada 3 program yang harus dikembangkan yaitu :

Keberhasilan penerapan teknologi PHT sangat ditentukan oleh perilaku petani untuk mau menerima teknologi tersebut, untuk itu perlu adanya penyuluhan kepada petani yang didukung dengan contoh yang dapat dilihat oleh petani merupakan salah satu bentuk agar teknologi tersebut dapat diterima petani.

Jaringan informasi akan terbentuk apabila kegiatan anggota kelompok tani yang ada aktif, setiap permasalahan yang ditemukan segera dibahas bersama-sama dengan melibatkan petugas pengamat hama setempat sehingga permasalahan tersebut dapat segera terpecahkan.

Menurut Norton (1976) cit. Untung (2003 : 247) bahwa; ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan petani dalam pengendalian OPT yaitu : a) tujuan petani ; b) ketersediaan tenaga, modal dan tanah ; c) kedalaman pengertian petani tentang serangan OPT dan kerusakan yang diakibatkan; dan d) kisaran serta efektifitas metode pengendalian yang tersedia dan langsung dapat digunakan oleh petani.

Strategi PHT dalam penerapannya adalah menekankan pada pengendalian yang berjalan secara alami dan mengurangi sekecil mungkin intervensi manusia dalam bentuk penggunaan pestisida secara tidak bijaksana terutama pestisida yang berspektrum lebar. Penggunaan pestisida organik sintetik merupakan cara pengendalian terakhir apabila sudah tidak ada cara pengendalian lain yang efektif.

Evaluasi Penerapan PHT Di Tingkat Petani

Evaluasi PHT adalah suatu kegiatan untuk melihat penerapan PHT oleh petani di lapangan. Hal ini meliputi kegiatan dari sejak perencanaan, pelaksanaan penanaman, pemeliharaan, pemanenan. Petani yang telah mengikuti SLPHT tentu sudah dibekali pengetahuan dan keterampilan yang cukup sehingga memiliki wawasan tentang bagaimana pengelolaan agroekosistem dan komponen-komponen penyusunnya melalui kegiatan pengamatan. Hasil pengamatan akan menjadi dasar pengambilan keputusan pengendalian OPT.

Biasanya petani dalam menetapkan keputusan pengendalian masih menggunakan intuisi dan pengalamannya, tetapi karena mereka telah mengikuti SLPHT maka pengetahuan dan keterampilannya semakin bertambah sehingga keputusan yang diambil akan mantap dan lebih pasti (Untung, 2003 : 249).

Petani diprovinsi Gorontalo umumnya sudah memahami PHT, karena sebagian besar sudah pernah mengikuti program SLPHT, tetapi apakah mereka sudah sepenuhnya menerapkan PHT pada sistem pertanian mereka, ini menjadi suatu persoalan bagi kita untuk melihat dan mengevaluasi.

Hasil evaluasi diharapkan akan menjadi bahan pelajaran bagi kita, mahsiswa dan sebagai bahan masukan untuk komponen-komponen terkait dalam pengambilan kebijakan.

Gambar 6.1. Kegiatan Pengamatan OPT Oleh Mahasiswa Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian UNG Yang Didampingi Oleh Para Dosen. Sumber : Koleksi Pribadi (2006).

- Latihan

Untuk memperdalam pemahaman anda tentang materi di atas, maka kerjakanlah soal-soal di bawah ini :

2. Sebutkan 3 program yang harus dikembangkan pada penerapan PHT

3. Uraikan dengan singkat pentingnya informasi pada sistem PHT

- Kunci Jawaban

- Rangkuman

1. Organisme Pengganggu Tanaman dianggap bukan sebagai musuh tetapi sebagai salah satu komponen penyusun agroekosistem yang perlu dikelola sehingga keberadaanya tidak begitu merugikan tanaman budidaya.

2. Teknologi PHT yang diterapkan harus bersifat ; a) sedapat mungkin merupakan teknologi “lunak” yang sedikit efek sampingnya bagi manusia, lingkungan dan OPT; b) memanfaatkan dan mendorong berfungsinya proses pengendali alami ; c) perpaduan optimal berbagai teknik pengendalian ; d) mudah dimengerti dan mampu dilaksanakan oleh petani yang memiliki sumber daya terbatas ; e) fleksibel dan menampung inovasi dan variasi sesuai dengan keadaan ekosistem yang dikelola dan masyarakat setempat.

3. Jaringan informasi dalam sistem PHT harus direncanakan dan disusun dengan cermat sehingga hubungan informasi antara para pelaksana PHT dapat berjalan dengan lancar, cepat dan efisien sehingga tindakan pengendalian yang dilakukan selalu tepat dengan keadaan dan keperluan lapangan.

5. Proses Pengambilan Keputusan harus berdasarkan pada informasi yang lengkap dan dapat dipercaya. Pengambilan keputusan dilakukan sejak perencanan dan persiapan tanam, penanaman, panen selama satu musim tanam.

6. Evaluasi PHT adalah suatu kegiatan untuk melihat penerapan PHT oleh petani di lapangan. Hal ini meliputi kegiatan dari sejak perencanaan, pelaksanaan penanaman, pemeliharaan, pemanenan. Petani yang telah mengikuti SLPHT tentu sudah dibekali pengetahuan dan keterampilan yang cukup sehingga memiliki wawasan tentang bagaimana pengelolaan agroekosistem dan komponen-komponen penyusunnya melalui kegiatan pengamatan.

6.3. Penutup

a. Tes formatif

1. Jelaskan apabila informasi yang diberikan salah apa akibatnya .

2. Sebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan oleh petani dalam pengendalian OPT.

3. Uraikan dengan singkat strategi PHT.

4. Jelaskan fungsi evaluasi PHT ditingkat petani.

b. Umpan balik dan tindak lanjut

- Umpan balik

Anda dapat menguasai materi ini dengan baik jika memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

- Tindak lanjut

Apabila mahasiswa dapat menyelesaikan 80% tes formatif di atas, maka mahasiswa tersebut dapat melanjutkanke bab selanjutnya sebab pengetahuan konsep perlindungan tanaman merupakan dasar untuk bab selanjutnya.

Jika ada diantara mereka belum mencapai penguasaan 80% dianjurkan untuk :

c. Jawaban tes formatif

1. Informasi yang salah akan menyebabkan pengendalian yang dilakukan tidak akan berhasil sesuai harapan sebaliknya hanya kerugian biaya dan tenaga.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan petani dalam pengendalian OPT yaitu : a) tujuan petani ; b) ketersediaan tenaga, modal dan tanah ; c) kedalaman pengertian petani tentang serangan OPT dan kerusakan yang diakibatkan; dan d) kisaran dan efektifitas metode pengendalian yang tersedia dan langsung dapat digunakan oleh petani.

3. Strategi PHT dalam penerapannya adalah menekankan pada pengendalian yang berjalan secara alami dan mengurangi sekecil mungkin intervensi manusia dalam bentuk penggunaan pestisida secara tidak bijaksana terutama pestisida yang berspektrum lebar. Penggunaan pestisida organik sintetik merupakan cara pengendalian terakhir apabila sudah tidak ada cara pengendalian lain yang efektif.

4. Evaluasi PHT berfungsi untuk melihat penerapan PHT oleh petani di lapangan. Hal ini meliputi kegiatan dari sejak perencanaan, pelaksanaan penanaman, pemeliharaan, pemanenan. Petani yang telah mengikuti SLPHT tentu sudah dibekali pengetahuan dan keterampilan yang cukup sehingga memiliki wawasan tentang bagaimana pengelolaan agroekosistem dan komponen-komponen penyusunnya melalui kegiatan pengamatan.

6.4. Daftar Pustaka

Untung, K, 2003. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Wigenasantana, M., S., dkk., 2001. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.

6.5. Senarai

SLPHT = Sekolah Lapang Pengamatan Hama Tanaman.

Komentar

Postingan Populer