HUKUM PERDATA DAGANG

1. Pasal 50 huruf h UU no. 5 tahun 1999
“pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil”
Pengecualian bagi usaha kecil dari larangan sebagaimana diatur dalam UU no. 5 tahun 1999 dapat diterima karena beberapa alasan sebagai berikut:
a. Dampak ekonomis manakala usaha kecil secara individu melakukan praktek sebagaimana yang dilarang dalam UU maka diperkirakan tidak memiliki dampak ekonomis yang membahayakan bagi masyarakat luas.
b. Skala usaha. Batasan skala usaha yang ditetapkan dalam undang-undang dapat digunakan sebagai batas kapan sebuah perusahaan boleh melakukan praktek yang dilarang. Seandainya usaha kecil melakukan praktek yang dilarang untuk membesarkannya menjadi usaha menengah, maka begitu dia menduduki kategori sebagai usaha menengah saat itu pula dia terlarang dari praktek sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
c. Ketebatasan kapasitas. Usaha berskala kecil diyakini tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk menguasai pasar, dengan demikian tidak ada dorongan dan insentif untuk melakukan praktek monopolisasi dalam rangka menguasai pasar, mengingat sebagian praktek yang dilarang hanya mungkin dilakukan dengan biaya yang besar.
d. Jumlah pelaku. Jumlah pelaku usaha berskala kecil relatif sangat banyak, sehingga sangat sulit bagi mereka untuk melakukan upaya penyatuan kekuatan seperti kartel menjadi kekuatan yang memonopoli.
e. Price taker Posisi usaha berskala kecil yang berstatus sebagai price taker secara psikologis tidak memiliki ruang pilihan untuk mempengaruhi pasar.

2. Pasal 50 huruf i UU no. 5 tahun 1999
“kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya”
Pengecualian bagi koperasi dari larangan sebagaimana diatur dalam UU no. 5 tahun 1999 dapat diterima karena beberapa alasan sebagai berikut:
a. Karakter unik. Koperasi yang menjalankan prinsip dasarnya secara konsekuen (genuine cooperative) adalah bentuk badan usaha yang unik. Kehadiran anggota sebagai pemilik dan pelanggan atau pengguna layanan koperasi, secara universal diakui dan memberikan keistimewaan kepada koperasi untuk melakukan diskriminasi antara anggota dan non anggota. Secara alami koperasi memang harus melakukan diskriminasi terhadap non anggotanya.
b. Countervailing power. Koperasi justru diyakini sebagai instrumen untuk mengkoreksi kegagalan pasar. Bila koperasi berkembang dengan pesat diberbagai sektor dan kegiatan dan diyakini akan lebih menjamin kesejahteraan masyarakat. Peranan koperasi sebagai penyeimbang kekuatan ekonomi kapitalis dengan mudah dapat diamati di negara-negara maju.
c. Value based. Koperasi berbeda dengan badan usaha swasta pada umumnya. Koperasi merupakan badan usaha yang menjunjung tinggi sistem nilai bagi upaya mensejahterakan anggotanya dan masyarakat pada umumnya. Prinsip dasar koperasi tidak terbatas berorintasi meningkatkan kesejahteraan anggotanya saja akan tetapi juga peduli pada lingkungan.
d. Kepentingan orang. Koperasi lebih berorientasi pada perwujudan kesejahteraan orang perorang bukan sekelompok pemilik modal. Koperasi dengan jumlah anggota yang banyak akan lebih menjamin kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kalaupun seandainya koperasi memiliki kekuatan yang memonopoli sebagai sebuah perusahaan atau beberapa perusahaan yang bergabung, maka hasilnya tetap dalam rangka kesejahteraan masyarakat banyak karena sifat keanggotaannya terbuka bagi masyarakat banyak.
e. Kapasitas. Untuk kasus di Indonesia kondisi koperasi masih belum berkembang dengan baik sebagaimana diharapkan dan sebagaimana layaknya koperasi-koperasi besar di beberapa negara maju. Dengan kata lain koperasi Indonesia tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk melakukan upaya memonopolisasi pasar dan koperasi masih diasosiasikan sebagai usaha berskala kecil. Dengan demikian kaidah pengecualian bagi koperasi sama halnya dengan pengecualian bagi usaha berskala kecil, dengan demikian manakala usaha kecil dikecualikan dari larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, maka selayaknya koperasi juga diberikan perlakuan yang sama.

3. Pasal 51 UU no. 5 tahun 1999
“Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.”
Menurut pasal 51 ini monopoli terhadap barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak dan cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara diatur dengan UU dan diselenggarakan oleh BUMN. Pada hakekatnya monopoli adalah perbuatan yang dilarang dalam persaingan usaha, namun hal ini menjadi berbeda jika objek (barang/jasa) adalah sesuatu yang menguasai hajat hidup orang banyak. Hal ini tentunya dilakukan dengan tujuan memakmurkan bangsa Indonesia.

Komentar

Postingan Populer