KONSEP TENTANG PARTISIPASI






KONSEP TENTANG PARTISIPASI

Oleh : Ir, Zakaria Ibrahim, MM (Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Unsam)

Partisipasi sekarang ini menjadi kata kunci dalam setiap program pengembangan masyarakat dimana-mana, seolah-olah menjadi label baru yang harus melekat pada setiap rumusan kebijakan dan proposal proyek. Dalam perkembangannya, partisipasi seringkali diucapkan dan ditulis berulang-ulang tetapi kurang dipraktekkan sehingga cenderung kehilangan makna. Untuk itu perlu dilihat apa makna konsep partisipasi.

Konsep partisipasi, dalam perkembangannya, memiliki pengertian yang beragam walaupun dalam beberapa hal memiliki persamaan. Dalam konsep pembangunan, pendekatan partisipasi paling tidak memiliki tiga maknai. Pertama, partisipasi dimaknai sebagai kontribusi masyarakat untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pembangunan dalam mempromosikan proses demokratisasi dan pemberdayaan (Cleaver, 2002 dalam Cooke dan Kothari, 2002:36). Kedua, pendekatan ini dikenal sebagai partisipasi dalam dikotomi instrumen (means) dan tujuan (ends). Konsep ketiga, partisipasi adalah elite capture yang dimaknai sebagai sebuah situasi dimana pejabat lokal, tokoh masyarakat, LSM, birokrasi dan aktor-aktor lain yang terlibat langsung dengan program-program partisipatif, melakukan praktik-praktik yang jauh dari prinsip partisipasi.

Dalam argumen efisiensi, Cleaver mengatakan bahwa partisipasi adalah sebuah instrumen atau alat untuk mencapai hasil dan dampak program/kebijakan yang lebih baik, sedangkan dalam argumen demokratisasi dan pemberdayaan, partisipasi adalah sebuah proses untuk meningkatkan kapasitas individu-individu, sehingga menghasilkan sebuah perubahan yang positif bagi kehidupan mereka (Cleaver, 2002 dalam Cooke & Kothari, 2002:37).

Partisipasi sepadan dengan arti peranserta, ikutserta, keterlibatan, atau proses belajar bersama saling memahami, menganalisis, merencanakan dan melakukan tindakan oleh sejumlah anggota masyarakat. Asngari (2001: 29) menyatakan bahwa, penggalangan partisipasi itu dilandasi adanya pengertian bersama dan adanya pengertian tersebut adalah karena diantara orang-orang itu saling berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Dalam menggalang peran serta semua pihak itu diperlukan (1) terciptanya suasana yang bebas atau demokratis dan (2) terbinanya kebersamaan. Selanjutnya Slamet (2003: 8) menyatakan bahwa, partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah sebagai ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Sementara itu Gaventa & Valderama (1999) dalam Arsito (2004) mencatat ada tiga tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan dengan pembangunan masyarakat yang demokratis yaitu (1) partisipasi politik, (2) partisipasi sosial, dan 3) partisipasi warga. Berikut ini penjelasan dari ketiga hal tersebut

Partisipasi Politik, lebih berorientasi pada mempengaruhi dan mendudukan wakil-wakil rakyat dalam lembaga pemerintahan ketimbang partisipasi aktif dalam proses-proses kepemerintahan itu sendiri.

Partisipasi Sosial, partisipasi ditempatkan sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai beneficiary atau pihak di luar proses pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek pembangunan dari evaluasi kebutuhan sampai penilaian, implementasi, pemantauan dan evaluasi. Partisipasi sosial sebenarnya dilakukan untuk memperkuat proses pembelajaran dan mobilisasi sosial. Dengan kata lain, tujuan utama dari proses partisipasi sosial sebenarnya bukanlah pada kebijakan publik itu sendiri tetapi keterlibatan komunitas dalam dunia kebijakan publik lebih diarahkan sebagai wahana pembelajaran dan mobilisasi sosial.

Partisipasi Warga, menekankan pada partisipasi langsung warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses kepemerintahan. Partisipasi warga telah mengalihkan konsep partisipasi dari sekedar kepedulian terhadap penerima derma atau kaum tersisih menuju ke suatu kepedulian dengan berbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan demikian, berbeda dengan partisipasi sosial, partisipasi warga memang lebih berorientasi pada agenda penentuan kebijakan publik oleh warga ketimbang menjadikan arena kebijakan publik sebagai wahana pembelajaran.


Selanjutnya menurut Effendi (2002 : 5), partisipasi terbagi atas partisipasi vertikal dan horizontal. Disebut partisipasi vertikal karena dapat terjadi dalam bentuk kondisi tertentu masyarakat terlibat atau mengambil bagian dalam suatu program pihak lain dalam hubungan mana masyarakat berada sebagai posisi bawahan, pengikat atau klien. Sedangkan istilah partisipasi horizontal digunakan, karena pada suatu saat tidak mustahil masyarakat mempunyai prakarsa dimana setiap anggota/kelompok masyarakat berpartisipasi horizontal satu dengan lainnya, baik dalam melakukan usaha bersama maupun dalam rangka melakukan kegiatan dengan pihak lain. Menurut Effendi, partisipasi seperti ini merupakan tanda permulaan tumbuhnya masyarakat yang mampu berkembang secara mandiri.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat digambarkan bahwa partisipasi tumbuh karena adanya dorongan dari diri manusia yang muncul oleh kesadaran tanpa adanya paksaan atau tekanan dari luar karena partisipasi seperti bersifat semu dan mudah berubah atau lenyap. Partisipasi yang kekal yaitu partisipasi yang tumbuh atas kesadaran sendiri karena merasa bahwa dirinya bagian dari kehidupan negara yang dituntut untuk turut memikirkan dan memajukan kehidupannya.

Komentar

Postingan Populer